Rabu 06 May 2015 05:59 WIB

Nikmat dan Indahnya Dekat dengan Ulama

Para ulama di Gedung Pakkuan
Foto: dokpri
Para ulama di Gedung Pakkuan

Oleh: Makmun Nawawi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Ya‘qub bertutur: pada suatu hari, kami menghadap Abu Muthi‘ al-Qurbani untuk belajar hadis. Setelah kami diterima, Abu Muthi‘ menghidangkan makanan, namun kami tidak mau mengambilnya. Maka Abu Muthi‘ menegur, “Dulu, kaum Salafus Salih menghormati sahabatnya dengan cara memberi kebun, rumah, kendaraan, budak, bangunan, dan peralatan. Namun, kini hanya ini yang mampu diberikan, itulah batas penghormatan kita. Jika kalian menolaknya, habislah tradisi menghormati yang kita miliki dan musnahlah kebiasaan baik generasi Salaf. Maka jangan biarkan hal itu terjadi.” Setelah mendengar teguran tersebut, kami langsung melahapnya.

Sepenggal cerita yang dipetik dari buku ash-Shadaqah wash-Shadiq karya Ahmad al-Kuwaiti ini menyajikan pernik kehidupan yang sederhana, namun menyisakan pelajaran yang kuat sekali, tentang nikmat dan indahnya dekat dengan ulama. Lihatlah, bagaimana Abu Muthi‘ al-Qurbani. Setelah memberikan ilmunya kepada orang-orang yang datang belajar kepadanya, beliau juga memberikan hidangannya sesuai dengan kemampuannya.

Fenomena ini mengingatkan kita kepada banyak ulama atau kiai kampung yang dengan senang hati menularkan ilmunya di majelis yang digelar di kediamannya, seraya jamaah dihidangkan jamuan sepantasnya. Tentu saja, ulama dambaan umat ini bukan hanya di kampung, di kota pun ada. Beberapa tahun lalu, di wilayah Kebayoran Lama, Jakarta, hadir sosok ulama seperti ini.

Adalah almarhum walmagfurlah KH Mu’allim Syafi’i Hadzami, tiap Sabtu siang membaca kitab al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imam asy-Syafi’i dan al-Itqan fi Ulumil-qur’an di ruang perpustakaannya yang luas di rumahnya. Usai memberikan ilmunya, kiai yang dijuluki “Sumur yang Tak Pernah Kering” ini pun memberikan makan siang kepada jamaahnya yang mayoritas para kiai dan ustaz. Silakan bandingkan dengan tren di mana banyak orang yang mau memberikan ilmu dan skill-nya, peserta justru dipatok dengan ratusan bahkan jutaan rupiah.

Dengan sikap luhur dan dermawan tersebut, rupanya ulama atau kiai ingin mengajarkan ilmu bukan hanya melalui kata-kata, melainkan juga melalui praktik secara langsung. Kalau dalam teori pendidikan, praktik secara langsung ini mempunyai nilai didaktis yang sangat tinggi, maka berbahagialah orang yang sering dekat dengan ulama karena bisa merekam langsung perilakunya, yang dengannya mereka memetik ilmu. Bagaimana mereka makan, berbicara, berjalan, beribadah, bergaul dengan anak, istri, dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, dan seterusnya.

Kedekatan seperti inilah rupanya yang menghantarkan Anas bin Malik RA—pelayan Rasulullah—menempati urutan ketiga dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, yang mana ia meriwayatkan sebanyak 2.286 hadis. Maka beruntung mereka yang punya hubungan dekat dan banyak berinteraksi dengan ulama atau kiai, entah sebagai pembantu, sopir pribadi, sekretaris, tukang cukur, sahabat, dan sebagainya. Karena, seperti kata Abu Darda’, “Perumpamaan ulama di tengah manusia lainnya adalah seperti bintang gemintang di langit yang menjadi petunjuk (bagi mereka).”

Sabda Nabi SAW, “Ulama itu sungguh pewaris para nabi dan para nabi tidak mewarisi (uang) dinar dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu ulama, ia telah mendapat bagian yang banyak.” (HR lbnu Majah).

Karena itu, menjadi naif kalau ada “ulama” bersikap dan berpihak terhadap ini dan itu karena motif ekonomi, dan ilmunya tak menjadikan dirinya takut pada Allah, yang karenanya tak masuk dalam kriteria ulama dambaan umat. Wallahu a'lambishawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement