REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Dari segi bahasa, akidah berakar pada kata aqada-ya’qidu ‘aqdan wa aqidah yang mengandung arti: mengikat (as-syadd), berjanji (al-ahd), membenarkan (al-tashdiq), kemestian (al-luzum), dan kepastian (al-ta’kid).
Atas dasar makna leksikal inilah, akidah dalam Islam dimaknai sebagai keimanan atau keyakinan yang pasti (tidak ada keraguan sedikitpun) kepada masalah-masalah gaib dan dasar-dasar ajaran Islam (ushuluddin) yang diberitakan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Akidah Islam tercermin dalam rukun Iman (iman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, hari akhir, qadha’ dan Qadar).
Esensi akidah Islam adalah tauhid, diformulasikan dalam dua kalimat syahadat: asyhadu an la ila illa Allah; wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Akidah yang tidak sesuai dengan la ilaha illa Allah berarti menyimpang dari akidah Islam.
Karena itu, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, antara lain, untuk meluruskan akidah umat terdahulu yang sudah mengalami penyimpangan, seperti: anggapan kalangan Yahudi, Uzair anak Allah; dan keyakinan kaum Nashrani, Nabi Isa AS anak Allah, padahal Isa putra Maryam.
Berakidah tauhid pada dasarnya merupakan fitrah manusia karena ketika di alam arham semua manusia pernah berjanji setia dan berkomitmen kepada Allah untuk bertauhid: mengenal dan mengesakan Allah.
Sejak ruh ditiupkan (istilah komputernya: di-install), manusia telah memiliki sifat lahut (ketuhanan), sehingga ia selalu berusaha mendekati-Nya. Selain itu, manusia memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual kepada-Nya, karena manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan-Nya.
Manusia juga membutuhkan petunjuk dan peta jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan membahagiakan, karena ia merupakan bagian integral dari makrokosmos ciptaan Allah. Manusia hidup karena ada yang Mahahidup dan menghidupkan, yaitu Allah.
Manusia harus tunduk dan patuh kepada syariat-Nya, karena jalan terbaik dalam hidup ini adalah meneladani sifat-sifat dan Asma’ul Husna-Nya.
Dengan meneladani sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya, menusia dapat mengotimalkan potensi dirinya untuk hamba yang shalih dan mushlih (innovatif, reformis, konstruktif, tidak berbuat kerusakan di muka bumi).
Akidah tauhid harus dimaknai secara komprehensif dan menjadi komitmen teologis Muslim sebagaimana tercermin dalam Iyyaka na’budu wa iyyaka nas’ta’in (Hanya kepada Engkau kami beribadah, dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan).
Komitmen berimplikasi mendasar bahwa Muslim tidak boleh melakukan perselingkuhan teologis (syirik). Misalnya saja kita rajin shalat, tetapi dalam waktu bersamaan kita masih percaya kepada selain-Nya seperti: tempat-tempat yang diyakini kramat, klenik, benda-benda tertentu yang diyakini bias membawa peruntungan, dan sebagainya.
Akidah tauhid harus ditindaklanjuti dalam bentuk ibadah yang ikhlas hanya kepada Allah dan ibadah ini dipahami sebagai tujuan utama penciptaan manusia (QS az-Dzariyat/51: 56). Oleh karena itu, Mukmin harus meyakini diterima dan tidaknya amal, sangat bergantung pada tauhidnya.
Kesempurnaan amal juga bergantung pada kesempurnaan tauhidnya. Allah berfirman: “Dan orang-orang kafir itu amal mereka bagaikan fatamorgana di tanah datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi jika air itu didatangi, dia tidak mendapatinya sedikitpun…” (QS an-Nur/24: 39). Jadi, akidah tauhid menjadi fondasi dan sebab berpahala tidaknya amal seseorang di mata Allah SWT.
Akidah tauhid juga dapat menentukan hubungan antara hamba dan Tuhannya, baik dari segi ma’rifah, tauhid, maupun ibadah. Kebahagiaan hidup di dunia ini dapat terwujud jika dilandasi pengetahuan tentang Allah, kebutuhan hamba kepada Allah harus melebihi segala kebutuhannya kepada yang lain.
Ma’rifat (mengenal dan memahami) Allah merupakan sumber ketenangan dan kedamaian hati. Akidah tauhid juga membuat orientasi hidup Muslim jelas, terarah, dan mantap, tidak bimbang, ragu-ragu, dan setengah-setengah.
Akidah yang benar merupakan kunci kemenangan dan keberuntungan dalam hidup di dunia dan akhirat. Dengan akidah yang benar dan kuat, Mukmin hanya takut kepada Allah. Selain-Nya, semua itu kecil dan hina; yang Maha Besar dan Kuasa hanyalah Allah.
Dengan demikian, berakidah tauhid (mengikatkan iman dalam hati, pikiran, lisan, dan perbuatan hanya kepada Allah), perlu dibuktikan dengan amal shalih dengan dilandasi oleh ilmu yang memadai.
Iman tanpa ilmu tidak akan membuahkan amal. Karena itu, iman, ilmu, dan amal merupakan trilogi, satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Akidah tauhid akan terawat dengan baik jika dikawal dengan istikamah (komitmen dan konsistensi) dalam berislam dan berihsan.
Suatu hari Nabi SAW pernah dimintai seseorang: “Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku sebuah ajaran Islam yang setelah itu aku tidak bertanya lagi!” Nabi menjawab: “Katakanlah, aku beriman, kemudian beristiqamahlah” (HR. Muslim). Oleh sebab itu, “Sebaik-baik amal adalah yang konsisten/terus-menerus walaupun hanya sedikit.” (HR. Abu Dawud)
Jadi, akidah tauhid harus dimaknai dengan dirawat, dipupuk, dikembangkan dan dioptimalkan agar tidak berkurang, defisit, atau bahkan hilang sama sekali.
Caranya, antara lain dengan memperbanyak: istighfar, dzikir, pikir, tadabbur, syukur, ibadah ritual dan sosial, dan beramal shalih secara personal, sosial, maupun kultural dengan penuh ketulusan, kesadaran, dan konsistensi.