Kamis 30 Apr 2015 06:27 WIB

Abdur Raheem Green Mengawali Hidayah dari Doa Bunda Maria (1)

Rep: c 38/ Red: Indah Wulandari
Abdur Raheem Green
Foto: muslimvideo
Abdur Raheem Green

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Abdur Raheem Green terlahir di Dar es Salaam, Tanzania dengan nama Anthony Vatswaf Galvin Green. Ia lahir ketika ayahnya masih menjabat sebagai administrator kolonial Inggris.

Onislam.net melansir, ibu Anthony seorang penganut Katolik Roma, sedangkan ayahnya agnostik. Sejak pernikahannya, sang ibu menyadari bahwa dirinya bukan seorang Katolik yang baik, tapi dia ingin memperbaikinya dengan mengirimkan kedua putranya ke sekolah Katolik.

Maka, Anthony dan saudara laki-lakinya, Duncan, dididik untuk menjadi seorang pemeluk Katolik yang taat. Pada umur 10 tahun, Anthony masuk ke sebuah sekolah Katolik berasrama yang sangat terkenal. Sekolah biara itu bernama Ampleforth College, terletak di Yorkshire, utara Inggris.

Suatu malam, ibunya mengajarkan sebuah doa yang biasa dilafadzkan umat Katolik. “Salam Bunda Maria. Maria, ibu dari Tuhan, terberkatilah engkau di antara para perempuan dan terberkatilah buah yang kau lahirkan, Yesus Kristus.”

Itulah kali pertama Anthony merasa heran. Dia bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana mungkin Tuhan bisa mempunyai ibu?”

Anthony terus memikirkan hal itu. Seandainya Maria adalah ibu dari Tuhan, bukankah lebih baik jika dia menjadi Tuhan itu sendiri?  

Seiring waktu, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menumpuk di benaknya. Ia juga bertanya, mengapa saya harus pergi melakukan pengakuan dosa?

“Bisakah kalian membayangkan anak umur 10, 11, sampai 20 tahun melakukan pengakuan dosa? Apakah kamu yakin mereka akan mengakui semua dosa-dosa mereka.” Ia merasa ada sebuah konspirasi besar di balik tradisi pengakuan dosa.

Mengapa kita harus pergi kepada pendeta untuk mengakui dosa? Mengapa tidak langsung kepada Tuhan saja? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab.

Ketika ia berumur 11 tahun, ayahnya pindah ke Mesir sebagai Manajer Umum Barclays Bank di Kairo. Namun, Anthony tetap tinggal diInggris. Ia hanya sesekali pulang ke Mesir untuk berlibur.

Saat itulah, ia kembali dihantui oleh pertanyaan. Mengapa ia harus hidup di Inggris? Apakah tujuan hidup ini? Untuk alasan apa, kita ada? Apakah arti cinta? Dan tentang apakah semua ini?

Untuk sementara, ia berpikir tetap di Inggris untuk bekerja keras, sekolah, mendapatkan nilai baik dalam ujian, mendapatkan gelar, pekerjaan, uang, lantas menikah.

Setelah menikah, ia berencana bisa membiayai anak-anaknya, mengirimkan mereka ke sekolah mahal, dan seterusnya. Itulah tujuan hidupnya kala itu.

Namun, ia tak bisa menyangkal jika lubuk hatinya meragukan jawaban itu. Sampai suatu hari, sesuatu yang sangat penting terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement