REPUBLIKA.CO.ID,Umar bin Khattab mendapati di atas karang itu banyak darah, maka ia pun mulai membersihkannya dan mengambil darah itu dengan tangannya sendiri dan mengangkatnya dengan bajunya. Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya, sampai sampah itu bersih, dan ketika itu juga ia perintahkan untuk mendirikan masjid di Yerusalem.
Pada saat itu, pusat kota suci dibagi-bagi menjadi satu sektor Yahudi, dua sektor Kristen (Armenia dan Ortodoks – karena mereka tidak bisa disatukan), dan (tanpa disebut sektor) satu areal yang lebih luas untuk Islam.
Kelak, di tempat Islam tersebut didirikan dua bangunan dalam komplek yang disebut Masjid Aqsha, yaitu oleh Khalifah ‘Abd al-Mâlik ibn Marwân yang membangun Qubbat al-Shakhrah atau The Dome of The Rock (pada 72 H/691 M) yang pernah menjadi kiblat pertama Islam, dan tempat Nabi Muhammad menjejakkan kaki menuju Sidrat-u ‘l-Muntahâ dalam peristiwa mi‘râj; dan sebuah masjid yang didirikan oleh Khalifah al-Wâlid ibn ‘Abd al-Malîk.
Mengikuti tafsir konvensional, yaitu yang sekarang ini dianut oleh sebagian besar umat Islam, memang ada indikasi bahwa sesungguhnya yang membuat Masjid Aqsha begitu penting adalah ‘Abd al-Mâlik ibn Marwân, walaupun hal ini sampai sekarang masih menjadi polemik.
Onislam,net mencatat bahwa Ibn Taymîyah, misalnya, tidak menyukai pendapat itu. Jelas bahwa Masjid Aqsha itu amat penting, karena dia merupakan kiblat yang pertama.
Pada waktu masih di Makkah, Nabi Muhammad SAW shalat menghadap Yerusalem. Tetapi, karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah juga menghadap Kakbah, maka Rasulullah memilih arah selatan Kakbah sehingga menghadap Kakbah dan Yerusalem sekaligus.
Ketika Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah, hal itu tidak bisa dilakukannya lagi, maka terpaksalah beliau menghadap ke utara (ke Yerusalem) di mana Kakbah berada di belakangnya.
Posisi membelakangi Kakbah ini membuat Nabi tidak merasa tentram. Maka, beliau memohon kepada Allah supaya diizinkan pindah kiblat. Doa Nabi dikabulkan. Maka, dikatakan bahwa pindahnya kiblat ke Makkah itu disebabkan doa Nabi.
Demikianlah Yerusalem, dengan sejarahnya yang penuh konflik, ia telah menjadi tempat suci dari tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Yerusalem pun menjadi lambang pertemuan dari tiga agama monoteis yang berakar pada agama Ibrahim.
Walaupun akhirnya ketiga agama ini mempunyai persamaan dan perbedaan secara teologis, perbedaan dan persamaan itu tidaklah menghalangi kita bersama untuk menjalin kerukunan hidup beragama.