REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah segera mendefinisikan istilah radikal atau radikalisme. Hal ini untuk mencegah tindakan sewenang-wenang aparatur negara terhadap penganut agama.
“Harusnya, BNPT dan pemerintah membuat definisi radikal seperti apa? Jangan ditafsirkan sendiri,” kata Ketua Bidang Kajian Majelis Ulama Indonesia, Prof Yunahar Ilyas kepada Republika.
Yunahar tidak keberatan jika pemerintah menindak para penganut paham radikal di Indonesia. Namun, semestinya pemerintah tidak serampangan dan memiliki klasifisikasi yang jelas tentang kelompok radikal. “Kalau memang radikal, tidak apa-apa dibasmi. Asal tidak sepihak,” ujarnya.
Istilah radikal telah ditafsirkan secara keliru. Yunahar menjelaskan, secara bahasa radikal berarti mempelajari sesuatu sampai mengakar atau mendalam. Sehingga, beragama secara radikal berarti mempelajari ajaran agama secara mendalam.
Tapi, yang terjadi sekarang, imbuh Yunahar, istilah radikal justru digunakan untuk menyebut orang atau kelompok yang tidak mau menerima perbedaan pendapat. “Kita boleh menyatakan pendapat kita benar atau sangat benar. Tapi, kita harus akui adanya perbedaan,” kata Yunahar.
Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama Selamet Effendy Yusuf mengatakan, pemikiran radikal dalam beragama perlu disikapi secara bijak. Menurutnya, upaya menelaah Islam secara radikal atau sampai ke akarnya perlu memperhatikan ruang dan waktu. Hal ini agar radikal dalam beragama tidak malah melahirkan terorisme.
Slamet menjelaskan, setiap agama memiliki radiks atau akar. Dia, misalnya, mempelajari akar agama Islam dari Alquran, hadis, dan metode-metode ulama, seperti ijma serta qiyas.
Namun, yang terjadi sekarang, menurut Slamet, adalah menerjemahkan akar ajaran agama secara tidak kontekstual. “Pendekatannya justru dengan kacamata kuda sehingga linier. Dari sana, lahir radikalisme yang bersifat lebih ke arah politis,” ujar Slamet.