Rabu 15 Apr 2015 11:23 WIB

Jekat, Pembawa Berkah Warga Kasepuhan

Rep: c 71/ Red: Indah Wulandari
Istilah zakat yang secara syariah berarti nama bagi suatu bentuk pengambilan tertentu dari harta tertentu.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Istilah zakat yang secara syariah berarti nama bagi suatu bentuk pengambilan tertentu dari harta tertentu.

REPUBLIKA.CO.ID,SUKABUMI -- Bagi warga Kasepuhan Sinar Resmi di Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, konsep zakat bukan hal yang asing.

Warga di kampung adat yang sudah berusia empat abad lebih itu terbiasa menjalankan ibadah sosial untuk membersihkan harta dengan menyisihkannya untuk kepentingan bersama. Hal itu merupakan hukum adat yang berlaku di Kasepuhan dan warga berkesadaran diri untuk menaatinya.

Jekat, itulah sebutan warga untuk salah satu sistem itu. Sesuai namanya,  jekat memang mirip dengan konsep zakat pertanian. 

“Warga Kasepuhan berkewajiban mengeluarkan sepuluh persen dari hasil panen padi untuk orang yang tidak mampu,”jelas Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi Asep Nugraha, beberapa waktu lalu.

Penerima jekat bisa terdiri dari warga Kasepuhan maupun orang luar. Kemudian, ada tatali, yakni sistem yang mewajibkan warga kasepuhan untuk menyisihkan 20 persen hasil panen dalam lumbung (leuit) si Jimat.

Si Jimat adalah leuit inti di kasepuhan itu. Di dalamnya, tersimpan cadangan padi yang hanya bisa digunakan untuk keperluan darurat warga. Contohnya, terjadi gagal panen atau musibah lain.

Selain itu, warga tetap memiliki kewajiban membayar zakat maal 2,5 persen sesuai aturan Islam.

Dengan aturan-aturan itu, artinya seorang warga kasepuhan yang mampu bisa menyisihkan sekitar 32,5 persen hartanya per tahun untuk kepentingan sosial.

Warga Kasepuhan memang tidak tampil bermewah-mewahan tapi mereka juga tidak kekurangan. "Alhamdulillah, semua warga masih bisa hidup berkecukupan," ujar Asep.

Pria yang akrab disapa Abah itu menyatakan, berkat sistem itu pun warga bisa menikmati swasembada beras. Dengan menyimpan padi di leuit Jimat warga bahkan bisa selamat dari masa paceklik. "Bersyukur belakangan ini tidak ada musibah jadi padi dalam leuit Jimat jarang digunakan," ujarnya.

Hampir seluruh masyarakat di kampung adat dengan luas 4917 hektare itu adalah petani. Menurut Abah, pemerintah pun perlu mengadopsi sistem adat dari kampung adat berpenduduk 73 kepala keluarga itu.

Ia yakin jika seluruh masyarakat melakukan konsep adat itu tidak perlu lagi ada impor beras.

Hebatnya, swasembada itu bisa terwujud meski adat mengatur dalam setahun hanya ada sekali masa tanam. Biasanya penanaman dimulai dari Oktober hingga enam bulan kemudian. Warga Kasepuhan selalu memulai masa tanam secara serentak.

Dompet Dhuafa (DD) menilai, filosofi hidup dalam kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi perlu dicontoh dan dilestarikan. DD pun menyalurkan donasi dari masyarakat untuk mengembangkan kampung adat itu dan untuk menyelamatkan varietas padi lokal.

"Desa ini menjadi bukti dengan menjaga adat tetap bisa memberi manfaat. Menghargai bumi. Ini adalah bentuk kearifan lokal yang patut dipelajari," ujar Ketua Dewan Pembina DD Parni Hadi.

DD pun menggelar Care Visit Agriculture ke Kasepuhan Sinar Resmi pada 11 hingga 12 April lalu. Dengan mengajak donatur, DD ingin menyebarkan nilai-nilai luhur dari kampung adat itu.

DD dengan program Pertanian Sehat Indonesia (PSI) pun mendorong agar varietas lokal yang ada di Kasepuhan bisa terselamatkan.

"Sangat disayangkan jika salah satu varietas justru dikembangkan oleh negara asing," ujar Parni.

Parni mengaku, pihaknya akan mendorong pemberian hak paten untuk varietas-varietas padi tersebut.

Selain itu Parni menyatakan akan membantu memberi nilai tambah untuk kampung tersebut dengan menggagas desa agrowisata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement