REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis dakwah yang juga pemilik pondok pesantren Assyuhada, Leuwiliang, Bogor Moestaqiem Dahlan menjelaskan, Jika manusia mengunakan zondol hawa-nya (persangkaan hawa nafsu) maka yang akan ditimbulkan adalah perusakan. Ini tercermin dari pembangunan yang tidak berbasis ekologi melainkan berbasis investasi akan melahirkan pembangunan yang merusak.
“Seharusnya pembangunan berbasis ekologi, melestarikan budaya lokal bentang alam tidak dirusak," kata dia, Senin (6/4)
Contoh lainnya, ketika dilakukan normalisasi sungai seharusnya dinormalkan bukan membiarkan pembuangan limbah atau tidak membuang sampah sembarangan sehingga tidak merusak ekosistem yang ada. Lainnya, bentang alam dengan mengubah pantai milik masyarakat Indonesia menjadi privatisasi kepemilikan.
“Kemudian muara yang penuh biota flora, fauna, hutan magrove malah dihancurkan dihilangkan dan dihabisi,”kata Dahlan.
Kondisi serupa juga terjadi di hulu. Dahlan menjelaskan, hutan dibabat dan dijadikan bangunan. Seharusnya, hutan dilestarikan oleh pemerintah. Namun, fakta yang terjadi hutan lindung dijual dngan difasilitasi pemerintah . Hal itu terjadi akibat lemahnya penegakan terhadap kepentingan keseimangan alam dan ekologi.
“Kerusakan hutan diakibatkan oleh penguasa dan pengusaha yang sudah melakukan perselingkuhan dari rakyat maka yang akan terjadi kerusakan,” lanjutnya.