REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kemenkominfo atas rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memblokir situs media Islam dinilai melanggar kebebasan berpendapat. Karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menyimpulkan dan menetapkan keputusan yang berdampak luas terhadap masyarakat.
"Kebijakan ini ternyata telah menimbulkan reaksi besar dari umat Islam. Hal itu dikhawatirkan akan munculnya kembali gerakan fobia pada Islam," demikian sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keterangan tertulis yang diterima ROL, Kamis (2/4)
MUI mengingatkan tugas pemerintah adalah memberikan bimbingan dan melakukan pembinaan terhadap situs-situs media massa yang mulai tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Hal ini ditujukan agar mereka dapat turut serta memberikan andil dalam pendidikan yang baik kepada masyarakat.
"Jika pemerintah telah salah dalam memblokir situs-situs itu maka kewajiban pemerintah adalah mengembalikan nama baik media tersebut. Sebab mereka terlanjur dikait-kaitkan dengan gerakan kekerasan, radikalisme, dan terorisme," kata MUI.
Pemblokiran situs-situs media Islam, disarankan hendaknya dilakukan secara hati-hati dengan melibatkan MUI, Kementerian Agama, dan ormas-ormas Islam, sehingga keputusannya benar-benar kredibel, tidak mendatangkan kerugian bagi media yang bersangkutan, dan tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
"MUI masih akan terus melakukan pendalaman dan pengkajian kembali atas kasus ini dengan mengundang pihak-pihak terkait seperti Kemkominfo, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta para pengelola situs-situs media yang diblokir."
MUI berharap tidak ada lagi pemblokiran terhadap situs-situs media Islam di masa yang akan datang. Semua bertujuan agar Indonesia tetap dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Kebebasan berpendapat rakyatnya akan selalu dihormati.