REPUBLIKA.CO.ID,Bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur yang indah dan menawan berdiri di berbagai penjuru kota. Mulai dari Masjid Agung, Istana Khalifah, perpustakaan, sekolah-sekolah, dan masih banyak lagi.Tradisi intelektual berkembang sangat pesat di Andalusia selama periode Kekhalifahan Cordoba.
Para ilmuwan menerjemahan berbagai naskah Yunani kuno ke dalam bahasa Arab, Latin, dan Ibrani. Bahkan, Perpustakaan al-Hakam II menjadi salah satu perpustakaan terbesar di dunia pada masa itu, dengan jumlah koleksi literaturnya yang mencapai 400 ribu volume.
Di bawah pemerintahan kekhalifahan ini pula, hubungan antara komunitas Yahudi dan Arab berjalan harmonis. Bahkan, tukang-tukang batu Yahudi juga ikut membantu membangun Masjid Agung Cordoba.
“Andalusia mencapai kemajuan di bidang sains, sejarah, geografi, filsafat, dan kesusasteraan selama periode kekhalifahan tersebut,” ungkap sejarawan Barat, Simon Barton, dalam karyanya, A History of Spain.
Mangkatnya al-Hakam II pada 976 menjadi penanda awal kemunduran Kekhalifahan Umayyah di Cordoba.
Sebelum kematiannya, al-Hakam menunjuk putranya yang masih berumur 10 tahun, Hisyam II, menjadi penggantinya.
Meskipun usia Hisyam II masih sangat muda, namun penasihat setia al-Hakam II, al-Mansur ibnu Abi Amir, tetap mengumumkannya sebagai khalifah yang baru.Hingga Hisyam II beranjak dewasa, al-Mansur ibnu Abi Amir menjalankan posisi selaku wakil khalifah yang mengelola urusan pemerintahan.
Mulai saat itu, gelar khalifah Cordoba hanya sebatas simbolis, atau lebih tepatnya jabatan tanpa kekuasaan.Pada masa-masa selanjutnya, Kekhalifahan Cordoba mengalami konflik perebutan kekuasaan dan perpecahan internal.
Selepas era pemerintahan Hisyam III (1027-1031), kekhalifahan tersebut akhirnya tercerai berai menjadi sejumlah taifa (kerajaan-kerajaan kecil independen).
Sejak itu, pengaruh politik Islam di Andalusia kian meredup. Selama dua abad berikutnya, berbagai serangan yang dilancarkan oleh aliansi kerajaan-kerajaan Kristen Iberia, semakin melemahkan pengaruh Islam di Spanyol.
Sejumlah wilayah yang telah dikuasai oleh kaum Muslimin sebelumnya, satu per satu mulai jatuh ke tangan para penguasa Nasrani. Pada 1212, Raja Alfonso VIII dari Kastilia, Raja Sancho VII dari Navarre, Raja Pedro II dari Aragon, dan Raja Alfonso II Portugal, bersatu mengalahkan pasukan Muslim dari Dinasti al-Muwahhidun (Maroko) dalam Pertempuran Las Navas de Tolosa.
Dalam perang tersebut, aliansi kerajaan-kerajaan Kristen itu mengerahkan kekuatan 100 ribu tentara infanteri dan 10 ribu kavaleri (pasukan berkuda).
“Menurut catatan, jumlah korban di pihak Muslim tidak kurang dari 100 ribu jiwa. Sementara, jumlah korban yang jatuh di kubu Kristen tidak seberapa,” ungkap Lynn Hunt dan kawan-kawan dalam kumpulan tulisan The Making of the West: Peoples and Cultures Volume 1: To 1740.
Pada 1238, Emirat Granada muncul sebagai kerajaan Islam baru di Spanyol.
Wilayahnya hanya mencakup sebagian kecil selatan Iberia. Kendati demikian, kerajaan ini mampu mempertahankan kekuasaannya di kawasan tersebut selama dua setengah abad lebih (sampai 1492).
Invasi Granada yang dilancarkan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I dari Kastilia-Leon sejak 1482, menjadi puncak konflik antara Muslim dan Kristen di Spanyol selama Abad Pertengahan. Setelah melakukan penyerangan selama sepuluh tahun, pasukan Kristen akhirnya berhasil mengepung dan meluluhlantakkan Emirat Granada.
Pada tanggal 2 Januari 1492, pemimpin Muslim Granada terakhir, Muhammad XII, akhirnya menyerahkan seluruh wilayah kekuasaannya kepada Ferdinand dan Isabella.
Tidak terhitung jumlah korban yang berjatuhan dalam peperangan tersebut. Namun, yang pasti, peristiwa itu sekaligus menjadi penanda lenyapnya kejayaan Islam di Spanyol.