Selasa 10 Feb 2015 19:24 WIB

Pemerintah Upayakan Batas Usia Perempuan Menikah Minimal 21 Tahun

Rep: Ira Sasmita/ Red: Damanhuri Zuhri
Menikah adalah sunah Rasulullah SAW, tak terikat waktu-waktu tertentu.
Foto: Antara/Regina Safri/ca
Menikah adalah sunah Rasulullah SAW, tak terikat waktu-waktu tertentu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah aktifis, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Yayasan Pemantau Hak Anak mengajukan uji materi mengenai batas umur pernikahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi pada September 2014 lalu. Mereka meminta batas usia menikah 16 tahun dinaikkan.

Sebelum MK mengeluarkan putusan, pemerintah terdiri atas Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga mendorong agar batas usia perempuan menikah dinaikkan.

Pelaksana tugas kepala BKKBN Fasli Jalal mengatakan, BKKBN sejak awal sebenarnya sudah menyatakan posisi yang jelas. "Jangan menikah sebelum berumur 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki," kata Fasli dalam diskusi di kantor YKP, Jakarta, Selasa (10/2).

Aturan dalam UU Perkawinan menurutnya sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Apalagi bila melihat risiko perkawinan pada usia di bawah 21 tahun.

Pernikahan bagi perempuan berusia di bawah 21 tahun menurutnya menimbulkan risiko negatif terutama bagi ibu dan bayi. Mulai dari risiko penyakit kanker rahim, anemia, hingga kematian ibu dan bayi. Pernikahan dini juga erat hubungannya dengan tingkat perceraian pada pasangan.

Pernikahan bagi anak di bawah 21 tahun menurut Fasli juga bertolak belakang dengan hak asasi anak. Lantaran pada usia di bawah 21 tahun itu anak berhak mendapatkan pendidikan dan hak-hak lainnya.

Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bidang Agama Siti Khadijah mengatakan, data United Nations 2011, Population Facts menyebutkan di tingkat international Indonesia merupakan negara dengan praktek perkawinan anak tertinggi ke-37 dari 63 negara.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2008 mencatat perempuan usia 20-24 tahun yang kawin sebelum usia 18 tahun di daerah pedesaan mencapai 33.5 persen, sedangkan di perkotaan mencapai 18.8 persen.

Dari aspek kesehatan, menurutnya perempuan yang melahirkan usia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin. Dibandingkan dengan kelompok usia 20-24 tahun dan risiko ini meningkat kali lipat pada usia 15-19 tahun.

Unicef, menurutnya mencatat 70.000 kematian tiap tahun pada anak perempuan usia 15-19 tahun yang disebabkan oleh komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan.

Sementara hasil penelitian UGM menunjukkan sekitar 14 persen bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah tujuh tahun adalah premature. 

"Dari sisi psikologis, perkawinan pada usia anak dapat mengganggu kesehatan jiwa yaitu pada saat anak dihadapkan pada urusan rumah tangga. Anak belum siap memikul tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga," ujarnya.

Karena proses tumbuh kembang anak sangat penting bagi anak untuk masa depannya yang telah dijamin dalam Konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan baik nasional dan internasonal. Menurutnya Kementerian PP-PA mendorong pencegahan perkawinan pada usia anak harus segera dilakukan.

Kasubdit Bina Kesehatan Perlindungan Anak Kementerian Kesehatan Mujaddid mengatakan, penelitian terakhir menunjukkan kematian ibu berusia di bawah 20 tahun mencapai 92 persen. Sementara kematian bagi pada ibu berusia di bawah 20 tahun menurutnya mencapai 34 persen.

Di samping kematian bayi, lanjut Mujaddid, perilaku seks pranikah yang sering mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan dapat menghasilkan tindakan aborsi.

Sementara di Indonesia praktik aborsi tidak dilegalkan sehingga remaja tidak tahu tempat aborsi yang aman, aborsi yang tidak aman sangat berisiko menyumbang kematian ibu atau remaja tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement