REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Waktu menunjukkan pukul 18.20 WIB, Ridho Wahyudi (24 tahun) yang mengenakan kemeja kerja berwarna biru dan celana katun hitam langsung bergerak ke tempat wudhu. Dengan lengan kemeja yang disingsing, ia terlihat membaca doa setelah melakukan wudhu.
Ridho mengambil posisi di saf yang paling depan setelah memasuki ruang Masjid Al Ikhlas yang terletak di Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur.
Senja itu, jamaah yang ikut shalat Maghrib di masjid tersebut mencapai tiga saf. Hampir semua yang ikut shalat adalah karyawan perusahaan yang berlokasi di sekitar masjid.
Setelah menunaikan shalat Maghrib, Ridho menyempatkan untuk melakukan shalat sunah dua rakaat sebelum bersiap untuk pulang ke rumahnya.
Accounting perusahaan swasta di Jakarta ini mengaku, selalu memperhitungkan waktu Maghrib. Ia menyadari, bila selepas jam kerja langsung pulang ke rumah, kemungkinan akan terjebak macet.
Meski jarak antara kantor dengan rumahnya di Kelurahan Cipinang, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, tidak terlalu jauh, kemacetan kadang membuatnya berada di jalanan selama dua jam. Padahal, waktu Maghrib kurang dari satu jam setengah saja.
Melihat kondisi itu, Ridho cenderung untuk menunggu waktu shalat Maghrib sebelum pulang ke rumah. Meskipun, kata dia, jadwal pulang kerja terkadang jauh lebih awal sebelum masuk waktu Maghrib.
“Kalau pulang biasanya kan lama di jalanan, daripada shalat ketinggalan atau di ujung waktu, kan kurang baik,” ujar Ridho, pekan lalu.
Kota Jakarta memang sudah sangat identik dengan kota kemacetan. Hampir setiap hari jalanan di Jakarta dipadati jutaan kendaraan dari berbagai jenis yang berlalu lalang di seluruh penjuru Ibu Kota.
Kondisi ini tak jarang membuat masyarakat pengguna jalan gerah. Jalan yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu singkat justru menjadi berjam-jam lamanya. Apalagi, kemacetan yang terjadi di sela-sela waktu shalat wajib.