REPUBLIKA.CO.ID,PURWOKERTO -- Wacana penghapusan haji khusus, menurut Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Slamet Effendi Yusuf, perlu mendapat kajian lebih jauh. Secara pribadi, dia menyatakan sependapat bila penyelenggaraan haji khusus ini dihapuskan.
''Namun untuk menerapkannya, saya kira perlu dikaji lebih jauh lagi. Tentunya dengan melibatkan biro-biro penyelenggara haji khusus,'' katanya, saat berada di Purwokerto, Kamis (5/2).
Dia mengakui, memang ada persoalan dalam hal kuota penyelenggaraan haji selama ini. Terutama menyangkut visa yang masih saja dikeluarkan pihak kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta, di luar kuota haji yang diberikan pada jamaah haji reguler.
''Ini juga masih kategori haji khusus, karena visa yang mereka peroleh di luar visa yang diberikan pada pemerintah RI untuk jamaah haji,'' katanya.
Slamet menyebutkan, visa yang diberikan pihak kedutaan di luar jumlah kuota haji yang diberikan pada pemerintah Indonesia, seringkali menimbulkan persoalan bagi jamaah haji reguler. Hal ini karena selama berada di Arafah dan Mina, jemaah haji non kuota ini sering menumpang di tenda-tenda yang disediakan untuk jamaah haji reguler. Termasuk juga untuk masalah kebutuhan makanannya.
Sementara mengenai jamaah haji khusus yang diselenggarakan oleh biro perjalanan haji khusus, Slamet yang juga menjabat sebagai salah satu ketua PBNU menyebutkan, dalam hal penyelenggaraan haji, seharusnya memang tidak ada perbedaan perlakuan antara jemaah yang satu dan lainnya.
Namun haji khusus yang diberangkatkan oleh biro penyelenggara haji khusus, mendapat perlakuan yang berbeda. Antara lain, tenda yang ditempati jemaah haji khusus selama di Arafah dan Mina, kondisinya lebih baik dibanding haji reguler. Demikian juga dalam hal penginapan, jamaah haji khusus ini mendapat yang lebih dekat dengan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi selama di Makkah dan Madinah.
Slamet mengakui, untuk menjadi jemaah haji khusus ini, setiap jamaah memang harus membayar biaya yang jauh lebih tinggi dibanding jemaah haji reguler. ''Namun seyogyanya hal ini tidak terjadi, karena seharusnya semua jemaah haji mendapat perlakuan yang sama,'' katanya.
Meski demikian, Slamet mengaku tidak bisa berpendapat bahwa penyelenggaraan haji khusus ini harus dihapuskan. ''Ya....saya hanya bisa bilang bahwa wacana penghapusan penyelenggaraan haji khusus ini memang perlu dikaji. Tentunya dengan melibatkan biro-biro swasta yang selama ini menyelenggarakan haji khusus,'' katanya.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sempat mengemukakan mengenai wacana penghapusan haji khusus. Namun dia menyebutkan soal akan dihapus atau tidaknya penyelenggaraan haji khusus, diserahkan pada DPR. '''Masalah penyelenggaan haji khusus ini juga tercantum dalam UU No 13 tahun 2008. Jadi kalau hendak dihapus, maka harus merevisi UU,'' katanya.
Meski demikian dia mengakui, masalah haji khusus ini ikut diatur dalam undang-undang karena pada masa penyusunan UU tersebut antrean daftar tunggu jemaah reguler belum sepanjang seperti saat ini. Sementara sekarang, daftar tunggu jemaah haji reguler sudah mencapai belasan tahun.
Dia juga menyebutkan, dalam hal penyelenggaraan haji khusus, ada kesepakatan tidak boleh melebihi 10 persen dari jumlah kuota jamaah haji Indonesia. Dengan dikurangi kuota jemaah haji Indonesia yang mencapai 20 persen, berarti jumlah jamaah haji khusus tahun ini mencapai 13.600 jamaah.