REPUBLIKA.CO.ID,BEKASI–Kasus yang menjerat seorang dai mualaf Farhan Muhammad alias Ramses Saogo dan Mayarni Mzen yang dituduh melakukan pemaksaan pengajaran agama dan perdagangan manusia menjadi refleksi minimnya perhatian pada pendidikan anak-anak di daerah terpencil.
Di Mentawai, negara seperti tidak hadir. Semestinya pemerintah bijak karena kasus ini berakar pada minimnya akses pendidikan. Anak-anak Mentawai hanya ingin sekolah,” kata Ketua Yayasan Pesantren Ridyatul Huda Bekasi, Bambang Sunarya, Kamis (25/12).
Kasus yang menjerat Farhan, ujarnya, tidak perlu terjadi seandainya pemerintah serius menangani masalah pendidikan. Maka, ia menganggap, kasus Farhan dan Mayarni ini terlalu dibesar-besarkan. Lantaran, keduanya hanya ingin mewujudkan niat menyekolahkan anak-anak yang tinggal di daerah minim akses pendidikan.
Bambang merupakan salah seorang saksi yang dihadirkan jaksa dalam persidangan atas Farhan dan Mayarni di Pengadilan Negeri Kota Padang, Sumatera Barat yang diduga menerima anak Mentawai yang dibawa kedua terdakwa.
Bambang menuturkan, pesantren yang dipimpinnya itu pernah didatangi dua orang aparat kepolisian. Keduanya lantas memeriksa Pesantren Ridyatul Huda, Bogor. Kemudian muncul pernyataan bahwa pesantrennya tidak menerima anak di bawah umur dari pihak kepolisian.
“Mereka (aparat kepolisan) tidak punya kapasitas untuk menyatakan hal itu. Nyatanya, usia minimal bagi seorang anak untuk diterima sebagai santri kami ialah enam tahun,” ungkap Bambang
Sebelumnya, Farhan disebut sebagai alumni Pondok Pesantren Yatim Asy-Syafi'iyah, Bekasi tahun 2008. Ia dituduh telah melakukan tindak pidana sekaligus pemaksaan agama terhadap sembilan orang anak Mentawai.
Padahal, menurut pengakuan Farhan, anak-anak tersebut masih kerabatnya sendiri yang akan disekolahkan di Pesantren Ridyatul Huda, Bogor, Jawa Barat. Adapun, kesembilan anak ini tidak beragama Islam.