Jumat 12 Dec 2014 19:30 WIB

Menag: Bertoleransi Bukan untuk Menuntut Pihak Lain

Rep: Aghia Khumaesi/ Red: Agung Sasongko
 Pekerja sebuah restoran cepat saji di Banten, Ahad (7/12), mengenakan atribut Natal berupa tanduk rusa sebagai bagian seragamnya.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pekerja sebuah restoran cepat saji di Banten, Ahad (7/12), mengenakan atribut Natal berupa tanduk rusa sebagai bagian seragamnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) tidak akan membuat aturan atau larangan tentang penggunaan atribut dan pakaian keagaman tertentu. Sehingga, masing-masing penganut agama seharusnya tidak menuntut apalagi memaksa penganut agama lain untuk memakai atribut atau pakaian agamanya.

Misalnya, jelas Lukman, seorang Muslim tidak usah dituntut gunakan kalung salib atau topi sinterklas demi menghormati Hari Natal. Begitu juga dengan umat perempuan non-Muslim tak perlu dipaksa berjilbab demi hormati Idul Fitri.

"Masing-masing kita dituntut untuk dewasa dan bijak untuk tidak menuntut apalagi memaksa seseorang menggunakan pakaian/atribut agama yang tak dianutnya,"jelasnya kepada ROL, Jumat (12/12).

Sebab, hal itu justru menodai identitas masing-masing penganut agama. Apalagi, toleransi yang telah dicanangkan masyarakat Indonesia selama ini bukanlah saling meleburkan dan mencampurbaurkan identitas masing-masing.

Dengan memakai atribut atau simbol keagamaan yang berbeda dengan yang dianutnya. Tapi toleransi disini adalah tutur Menag saling memahami, mengerti, dan menghormati akan perbedaan masing-masing.

Yakni, menghormati cara ibadah, rumah ibadah dan perayaan hari raya masing-masing agama. Sehingga, dirinya mengaku tidak mendukung dan tidak turut campur terkait pernyataan Ditjen Bimas Islam untuk pembolehan pemakaian atribut natal bagi karyawan muslim.

"Bertoleransi bukan untuk menuntut pihak lain yang berbeda untuk menjadi sama seperti dirinya,"tegas kader PPP tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement