Rabu 10 Dec 2014 09:00 WIB

NU Dukung Jokowi Tolak Grasi Pengedar Narkoba

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj berpidato saat Halal Bihalal Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, Ahad (25/8).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj berpidato saat Halal Bihalal Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, Ahad (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang berkomitmen menolak pengajuan grasi pelaku kejahatan berat yang layak dihukum mati, salah satunya pengedar narkoba.

 

“Saya dukung apa yang dilakukan Pak Jokowi,” tegas Kiai Said, Selasa (9/12).

Pemerintah, ujarnya, sudah seharusnya mengambil sikap tegas untuk pelaku kejahatan berat, salah satunya pelaku peredaran narkoba.

 

“Seperti dikatakan dalam Alquran, barang siapa melakukan kejahatan yang mengakibatkan rusaknya peradaban manusia, menghancurkan Indonesia, hukumannya adalah dibunuh, disalib, dipotong dua tangan dan kakinya, atau diasingkan,” jelas Kiai Said.

 

Profesor bidang tasawuf ini menjelaskan, tingkatan manusia karena kejahatannya juga diatur dalam Islam, tepatnya dalam ilmu fikih. Seperti tertuang dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al Ghozali mengategorikan manusia dalam empat tingkatan.

 

Pertama adalah ‘Ashin, yaitu pelaku kejahatan karena pengaruh atau ajakan orang lain, yang karena kejahatannya dihukum peringatan. Kedua adalah Murtakib, yaitu pelaku kejahatan yang meski sudah mendapatkan peringatan kembali melakukannya di lain waktu dan layak diperingatkan secara tegas.

 

Sedangkan tingkatan manusia ketiga adalah Fasiq, yang karena kejahatannya layak mendapatkan hukuman.

 

“Dan keempat adalah Syirrir. Yang masuk kategori ini seperti pengedar narkoba, bandar, bahkan pemilik pabriknya. Ini harus dihukum seberat-beratnya,” tegas Kang Said.

 

Disinggung adanya tudingan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) terhadap pemberlakuan hukuman mati, Kiai Said dengan tegas membantahnya. Ditegaskannya, kematian pengguna narkoba juga harus dilihat sebagai pelanggaran HAM oleh pengedar, bandar, dan pemilik pabrik obat-obatan terlarang.

Mereka (pengedar, bandar, dan pemilik pabrik narkoba) sudah terlebih dahulu melanggar HAM, dan tidak ada yang memprotesnya,”urainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement