Senin 08 Dec 2014 14:23 WIB
Atribut Natal

Kedepankan Toleransi Tapi tidak dalam Ritual

 Pekerja sebuah restoran cepat saji di Banten, Ahad (7/12), mengenakan atribut Natal berupa tanduk rusa sebagai bagian seragamnya.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pekerja sebuah restoran cepat saji di Banten, Ahad (7/12), mengenakan atribut Natal berupa tanduk rusa sebagai bagian seragamnya.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Staf Ahli Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama, Abdul Fatah menilai Islam merupakan agama yang mengedepankan toleransi. Namun, toleransi itu ada batasnya.

"Kita ke depankan toleransi tapi dalam seremonial saja tidak dalam ritual," ucap dia saat berbincang dengan ROL, Senin (8/11).

"Ini yang perlu dipahami. Tidak perlu ruwet. Karena masalah itu pasti kita temukan, karena negara kita ini beragam".

Namun, Abdul Fatah mengungkap keliru bila setiap agama sama. "Dalam konteks kemanusiaan, saling tolong-menolong tidak masalah. Tapi tidak dengan ritual," ucap dia.

Sebelumnya, ustaz Erick Yusuf mengatakan, hukum umat Muslim mengenakan atribut atau bahkan ikut dalam perayaan hari besar agama lain adalah tasabuh. Jika melakukan tasabuh berarti melanggar perintah agama atau hadist Rasulullah Muhammad SAW.

Akan tetapi, kata Ustaz Erick, ada rukhsah yang bermakna keringanan atau pengecualian untuk persoalan yang memang dirasa darurat. Dia mengambil satu contoh kasus perusahaan atau toko-toko di pusat perbelanjaan yang umumnya mengharuskan karyawannya mengenakan atribut Natal untuk menyambut ataupun merayakan hari raya tersebut.

Akan tetapi, tetap dengan catatan, bila masih diperbolehkan memilih, karyawan tersebut wajib menolak mengenakan atribut Natal tersebut. "Tidak bisa diganggu gugat, harus memilih menolak," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement