REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah mesti melakukan revisi dalam memberikan perhatian dan bantuan terhadap yatim. Sebab sistem yang digunakan saat ini dinilai setengah-setengah dan belum komprehensif, sehingga kurang memberi dampak bagi pemenuhan kebutuhan mereka yang nyatanya harus diberikan secara utuh.
“Idealnya, atensi terhadap anak yatim harus holistik, bagaimana pendidikannya, kesehatannya, hak sosial dan agamanya,” kata Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto kepada ROL pada Ahad (9/11). Di samping itu, kata dia, yatim harus diberi kesempatan yang sama dalam hal partisipasi mereka ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya.
Susanto tidak sependapat dengan cara pemerintah yang mengistilahkan Bantuan Sosial atau Bansos dalam memberikan perhatian kepada yatim. Sebab menurutnya, hal tersebut berasosiasi pada kebaikan dan belas kasih Negara dan membuat anak yatim merasa “harus dikasihani”.
Padahal mereka sama seperti anak-anak lainnya, harus berdaya dan mandiri ke depannya. Negara, kata dia, harus memosisikan anak yatim secara elegan, dengan menempatkan yatim dalam posisi aktif berdaya. “Karena kalau bantuan itu, kecenderungannya parsial, sementara anak yatim itu butuh perlindungan yang utuh,” tegasnya.
Selain pemerintah, kecenderungan masyarakat dalam memperhatikan anak yatim pun masih bersifat karitatif, hanya karena dilandasi belas kasihan. Padahal, rasa tersebut perlu ditindaklanjuti dengan membangun sistem yang komprehensif sebagaimana dimandatkan undang-undang.
Pada intinya, kata dia, pemenuhan terhadap yatim baik dari pemerintah maupun masyarakat harus memperhatikan hak dasar anak dan perlindungan khusus. Hak dasar meliputi hak pendidikan, hak sosial, hak sipil, hak agama dan hak pengasuhan.
Sementara, hak perlindungan khusus di antaranya perlindungan terhadap anak korban kekerasan, anak korban trafiking, anak korban eksploitasi atau kejahatan seksual dan kejahatan lainnya. Hak perlindungan khusus tak boleh diabaikan karena yatim rentan menjadi korban kekerasan.