Kamis 06 Nov 2014 14:32 WIB

Demokrasi ala Madinah (5-habis)

Kota Madinah tempo dulu.
Foto: Wikipedi.org/ca
Kota Madinah tempo dulu.

Oleh: Harun Husein      

Barulah setelah umat Islam melepaskan diri dari penjajahan negara-negara Barat, model yang mirip dengan yang diterapkan di era khilafah rasyidun, di mana pemimpin dipilih, bukan berdasarkan keturunan, kembali diterapkan.

Namun, kali ini, lewat sistem yang bernama demokrasi. Tapi, karena demokrasi datang bersama sekularisme, persoalan pun menjadi rumit.

Meski demikian, sejumlah pemikir tetap mengakomodasi gagasan demokrasi tersebut, karena menilainya memiliki banyak kesamaan dengan sistem Islam.

Abul A’la Maududi antara lain mengembangkan konsep teodemokrasi. Di Indonesia, juga berkembang istilah theistic democracy, yang diintrodusir Mohammad Natsir.

Nurcholish Madjid, yang pemikirannya dirumuskan sebagai Islamodemokrasi oleh Anas Urbaningrum, menyatakan, “Baru di zaman modern inilah dunia Islam mulai mengenal kembali sistem pemerintahan representatif melalui pemilihan, yaitu, secara ironis hanya setelah berkenalan dengan sistem politik modern Barat.”

Maka, “Mungkin saja pada zaman sekarang inilah umat Islam memiliki prasarana sosial budaya yang lebih baik untuk dapat mewujudkan masyarakat madani. Sesuai dengan prinsip kemanusiaan universal atas dasar fitrah atau kesucian primordialnya, dan sejalan dengan pesan Nabi untuk mengambil kearifan (hikmah) dari manapun datangnya, kita dapat belajar dari bangsa-bangsa yang telah mengalami sejarah panjang menuju demokrasi,” kata Nurcholish dalam Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement