Kamis 06 Nov 2014 14:11 WIB

Demokrasi ala Madinah (4)

Kota Madinah tempo dulu.
Foto: Wikipedi.org/ca
Kota Madinah tempo dulu.

Oleh: Harun Husein     

Saat Umar bin Abdul Aziz ditunjuk menjadi khalifah kedelapan Dinasti Umayyah, dia sempat menolak jabatan tersebut dan mengembalikan baiat ke pada umat.

Dia membebaskan umat memilih khalifah yang mereka sukai. Dan, saat itu umat ternyata tetap memilihnya. Pidato Umar saat terpilih sebagai khalifah mirip dengan pidato-pidato Khalifah Rasyidin, begitu pun dengan caranya menjalankan pemerintahan dan kezuhudan perilakunya.

Bani Umayyah pun guncang dan dibuat khawatir baiat akan dikembalikan kepada umat alias pemimpin dipilih dengan musyawarah, sehingga menghilangkan hak mereka atas tahta.

Maka, Umar pun diracun, dan keadaan kembali seperti sediakala ke sistem dinasti atau kerajaan (mulkan). Meski demikian, kalangan sejarawan mencatat pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah rasyidah kelima.

Dinasti Umawiyah yang meniru cara pemerintahan Romawi-Byzantium ini kemudian disusul Abbasiyah yang meniru cara pemerintahan Kisra Persia dan makin menjadi monarki absolut. Dinasti-dinasti lainnya adalah Safawiyah, Fathimiyah, Usmaniyah, dan lain-lain.

Lebih dari satu millennium sistem pemerin tahan Islam tersebut dengan sistem di nasti. Baiat pun hanya menjadi formalitas, karena umat hanya punya baiat taat alias ketaatan pasif.

Pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, menyebut sistem khilafah sebagai sistem yang rasional dan demokratis. Tapi, kemudian dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun temurun.

Bahkan, kemudian, frase khilafah ar-rasul sebagai konsep politik disalahpahami dan dicampuradukkan dengan frase khalifah Allah sebagai konsep filosofis.

“Khalifah ar-Rasul adalah konsep pengganti Rasul sebagai pemimpin negara setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Sedangkan khalifah Allah artinya konsep yang berkenaan dengan kedudukan setiap individu manusia sebagai pengganti atau bayangan Tuhan di atas muka bumi, dan yang terakhir ini berlaku buat semua manusia,” tulis Jimly dalam bukunya, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement