REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penyaluran bantuan sosial (Bansos) di Kementerian Agama (Kemenag) kerap mengalami persoalan. Kepala Biro Keuangan Kemenag Sihabuddin hal tersebut sejatinya disebabkan “Salah tafsir” dalam pemanfaatan dana bansos.
Berikut contoh salah tafsir yang dimaksud:
Bansos di Masjid Istiqlal misalnya. Sebagai masjid Negara, ia diberikan dana setiap tahunnya dari Kemenag berupa dana bansos. Padahal, pemberian dana tersebut tidak memiliki resiko sosial. Inilah yang membuatnya menjadi kesalahan.
Maka solusinya, dana tersebut tetap bisa dicairkan, sebab pengurusan masjid Negara merupakan bagian dari tanggung jawab Negara melalui Kemenag. Pembiayaan penting, untuk misalnya perawatan, listrik air, telepon dan kebutuhan masjid lainnya.
Namun statusnya bukan dana bansos, melainkan menjadi pertanggungjawaban pemilik program, dalam hal ini, misalnya program milik Bimas Islam melalui Kasubdit Kemasjidan. “Sehingga SPJ-nya pun oleh Bimas Islam, bukan bansos,” tegasnya. Maka, tugas Kemenag sekarang adalah bagaimana caranya agar pendanaan penting tersebut tidak salah tapi diberikan ruang dengan cara agar ada akun khusus agar persyaratan pencairan dana terpenuhi.
Contoh lainnya, misalnya pemberian dana untuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) atau Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Dijelaskannya, undang-undang telah mengamanatkan Negara melalui Kemenag untuk memberikan dukungan dana kepada badan-badan tersebut. Namun, pemberian dana dalam bentuk bansos adalah sebuah kesalahan.
Contoh lain di bidang pendidikan, yakni kesalahan pemberian dana untuk lembaga sertifikasi guru dan dosen. Sebagai lembaga pendidikan, di antaranya UIN atau UNJ, mereka diberi mandat oleh kemenag untuk menyelenggarakan diklat sertifikasi guru. Tapi yang menjadi persoalan, uang yang diberikan dalam bentuk bansos. Sampai saat ini, lanjut dia, Bansos kemenag yang sudah cocok adalah Bantuan Siswa Miskin saja. Selebihnya, masih banyak yang mesti diperbaiki.