Rabu 01 Oct 2014 07:47 WIB

Beda dengan LN, Muslim Indonesia Dinilai Mampu Atasi Konflik Identitas

Rep: Heri Purwata/ Red: Julkifli Marbun
Umat muslim melaksanakan Salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Senin (28/7).  (Antara/Andika Wahyu)
Umat muslim melaksanakan Salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Senin (28/7). (Antara/Andika Wahyu)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA –- Prof Noorhaidi Hasan, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan Indonesia telah berkembang menjadi model pertumbuhan dan demokrasi bagi Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Hal ini terungkap pada konferensi intelektual Muslim yang berlangsung di Istanbul, Turki, Agustus lalu.

Noorhaidi mengemukakan hal itu pada pidato pengukuhan Guru Besar dalam ilmu Politik Islam Kontemporer di hadapan Rapat Senat Terbuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (30/9). Noorhaidi menjadi professor pada usia 42,3 tahun dan menjadi professor termuda keempat yang dihasilkan UIN Sunan Kalijaga.

Dijelaskan Noorhaidi, Muslim di banyak Negara belum benar-benar mampu keluar dari ‘normative dissonance.’ “Mereka belum dapat mendamaikan antara identitas sebagai Muslim dan kenyataan bahwa mereka adalah warga Negara sebuah Negara bangsa modern yang dibangun di atas prinsip kewarganegaraan (citizenship) yang menjunjung nilai-nilai egalitarianism, civility dan kemanusiaan,” kata Noorhaidi.

Lebih lanjut Noorhaidi, mengatakan hamper ada consensus di kalangan peserta konferensi yang hadir menilai Indonesia merupakan pengecualian. Melalui eksperimen dokorasi dan pertumbuhan, Indonesia dianggap relatif berhasil menawarkan model penyelesaian normative dissonance secara elegan.

“Islam tidak perlu lagi dihadapkan dengan sistem politik Negara-bangsa dan demokrasi. Namun Islam menjadi nafas yang memberikan panduan moral dan etik bagi Indonesia. Islam sekaligus menyatu dalam gerak kehidupan bersama warganya yang hidup dalam sebuah Negara-bangsa berlandaskan Pancasila,” kata bapak dua anak ini.

Di Indonesia, kata Noorhaidi, tidak ada hambatan apapun untuk menjadi Muslim yang baik sekaligus warga Negara yang loyal serta bagian dari masyarakat dunia yang modern dan terglobalkan. Namun ada sejumlah orang berpikiran picik yang berupaya untuk menggagalkan usaha bangsa Indonesia membangun peradaban yang luhur berdasarkan cinta, persamaan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

“Dalam kontek ini, kita masih perlu bekerja keras untuk memastikan kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah, mendapat perlindungan yang maksimal dari Negara dan dari kita semua,” tandasnya.

Dalam dekade terakhir, Indonesia bergerak cepat mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa demokratis besar di dunia. Hal ini disebabkan berkat dukungan kalangan menengah yang tumbuh cepat di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan kalangan menengah mencapai tujuh juta per tahun. Tahun 2003, Indonesia hanya memiliki 37,7 persen kelas menengah dari total populasi. Sedangkan tahun 2010, kalangan menengah sudah mencapai 56,5 persen dari seluruh jumlah penduduk.

Kelas sosial menentukan perbedaan pandangan, aspirasi ataupun sikap politik seseorang. Sebagai bagian masyarakat yang memiliki penghasilan lebih dari yang diperlukan, kelas menengah juga lebih mandiri dan lugas dalam pandangan atau sikap politik.

Mereka tidak mudah tertipu dengan rayuan politik uang ataupun manipulasi simbol primordial. Sebab persentuhan mereka cukup intens dengan globalisasi, selera dan gaya hidup kelas menengah biasanya tidak bisa dipisahkan dari tren yang berkembang di tingkat global. “Mereka berupaya menegosiasikan Islam dan globalisasi sambil mencari titik temu antara identitas keagamaan dengan selera dan gaya hidup masyarakat global,” tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement