REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina melarang sebagian Muslim dari identitasnya. Yang menarik, tapi membolehkan sebagian Muslim lain melaksanakan ajarannya tanpa halangan.
Di Xinjiang, rumah bagi jutaan Muslim Uighur mengalami perlakuan tidak menyenangkan soal identitas mereka sebagai Muslim. Berbagai tekanan dilakukan Beijing kepada etnis keturunan Turki ini. Mulai dari larangan meramaikan masjid hingga larangan menggunakan hijab atau simbol Islam di ruang publik.
Kondisi ini kontras dengan apa yang dialami Muslim Hui, salah satu etnis minoritas yang beragama Islam. Hui, berpopulasi 10.5 juta jiwa ini diakui dan dilindungi Beijing. Buktinya, kota Linxia di Provinsi Gansu menjadi pusat pendidikan dan kajian Islam terbesar di Cina.
Ismail, seorang Hui yang bekerja untuk sebuah perusahaan milik negara di wilayah otonomi Ningxia, mengatakan ia secara terbuka mempraktekkan imannya. "Tentu saja, aku berpuasa selama bulan Ramadhan," katanya seperti dilansir Time, Rabu (13/8).
Partisipasi Hui dalam ibadah haji ke Mekah telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Belum lagi angka pendidikan dikalangan Muslimah yang luar biasa. Intinya, Islam diterima dengan baik.
Kontras cerita dengan apa yang dialami Muslim Uighur. Setiap hari, selalu saja ada bentrokan. "Ini bukan masalah kebebasan beragama," kata Dru Gladney, pakar Islam Cina. Menurut dia, ada banyak ekspresi keagamaan yang dihadang Beijing. Namun, ketika ekspresi itu menyentuh politik maka jangan heran, akan terjadi dengan umat Islam atau kaum Tibet.
Sementara Time menulis, kedekatan historis Hui dengan etnis Han sangat membantu mereka dalam beradaptasi dan berintergasi dengan masyarakat Cina. Ini jelas berbeda dengan etnis Uighur yang berbahasa Turki.
"Cara membedakan Uighur dan Hui jelas terlihat. Hui Muslim yang baik dan Uighur Muslim Buruk," kata dia.