Sabtu 09 Aug 2014 14:46 WIB

Asal Kata Minal Aidin wal Faizin (2-habis)

Minal ‘aidin wal faizin’ merupakan petikan dari bahasa Arab.
Foto: Blogspot.com/xa
Minal ‘aidin wal faizin’ merupakan petikan dari bahasa Arab.

Oleh: Hannan Putra     

Sedangkan di Indonesia, kalimat minal aidin wal faizin merujuk pada salah satu lagu yang populer pada era tahun 90-an. Petikan lagu tersebut mengatakan, “Minal ‘aidin wal faizin, maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.”

Ketika itu, ucapan ini menjadi sangat populer dan dipakai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.

Dr Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati menjelaskan hal ini dengan lebih proporsional. Menurutnya, pertama kali kalimat tersebut jangan sampai salah penyebutan. Kata ‘aidin dan faizin’ jangan sampai disebut aidzin, aidhin, atau faidzin, faidhin.

Mengenai penghilangan kata ja’alna atau ja’alnallahu (semoga kami dijadikan, semoga Allah menjadikan kami) merujuk pada tradisi Arab yang suka to the point dan menghilangkan beberapa kata sebelumnya. Atau hal ini juga bisa disebabkan orang Indonesia yang susah menyebut dan menghafal lafaz Arab yang terlalu kepanjangan.

Lalu, kalimat seperti apakah yang disunahkan untuk diucapkan ketika berhari raya? Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, ucapan Idul Fitri yang sesuai dengan sunah yaitu, Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal kami dan kalian)” atau Taqabbalallahu minna waminkum wa ahalahullahu ‘alaik (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu sekalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu).

Inilah kalimat yang disunahkan di dalam Islam. Al-Hafizh Ibnu Hajar, salah seorang ulama mazhab Asy Syafi’i, juga pernah menyampaikan bahwa para sahabat Rasulullah SAW bila bertemu pada hari raya mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minkum.” Mereka yang diucapkan kalimat tersebut membalasnya dengan kalimat yang serupa.

Ibnu Taimiyah lebih lanjut menerangkan, “Ucapan selamat hari raya sebagian mereka kepada sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat Id dengan ungkapan, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum’ dan A’aadahullahu alaika, serta ucapan sejenisnya.

Maka, hal ini telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka melakukannya. Telah diperbolehkan pula oleh para imam, seperti Imam Ahmad dan selainnya. Maka siapa yang melakukannya, ia memiliki panutan, dan yang meninggalkannya pun memiliki panutan.” (Majmu’ Fatawa Jilid 24 halaman 253).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement