REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah Dasar dan Menengah belum efektif. Peraturan yang memberi kebebasan siswi berjilbab itu belum mampu menghentikan diskriminasi.
Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Bidang Komunikasi Umat Helmi al-Djufri menyatakan, pascasosialisasi permendikbud yang ditetapkan 11 Juni 2014 tersebut masih muncul larangan berjilbab. “Salah satunya di SMPN I Gerokgak, Buleleng, Bali,” katanya, Rabu (6/8).
Di sana, siswi Muslim yang ingin berjilbab dilarang. Bahkan, salah seorang pengurus sekolah meminta siswa menghormati peraturan yang berlaku di sekolah. “Memang tak ada aturan tertulis yang melarang, tetapi dalam praktiknya jilbab dilarang,” ungkap Helmi.
Ia menyatakan, PII akan terus memantau kasus ini. Bagi dia, meski belum efektif, adanya permendikbud bisa menguatkan upaya advokasi. Sebab, ada dasar hukum yang menegaskan siswi Muslim mempunyai kebebasan mengenakan jilbab di sekolah.
Menurut Helmi, mesti ada sinergi mengawal pemberlakuan permendikbud ini, khususnya di daerah minoritas Muslim. Sosialisasi harus intens dan dipantau efektivitasnya. Pemantauan bukan hanya oleh pemerintah, melainkan juga masyarakat.
Ketua Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) wilayah Jabodetabek Ahmad Hidayat menyatakan hal sama. Pemantauan dilakukan dengan memanfaatkan jaringan organisasi yang luas, khususnya di daerah Indonesia yang minoritas Muslim.
“Kami membuka jaringan, advokasi, dan kembali mengumpulkan fakta jika masih terjadi pelanggaran peraturan itu,” ujar Ahmad. Menurut dia, permendikbud merupakan sebuah awal agar diskriminasi berjilbab di Indonesia, khususnya bagi pelajar, dapat dihapuskan.
Kemunculan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 dipicu kasus pelarangan berjilbab di 40 sekolah di Bali. Aliansi Pelajar Mahasiswa Indonesia (APMI) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat peraturan mengenai seragam sekolah itu.