REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
Idul Fitri berarti kembali pada kesejatian diri atau diri sejati. Di antara kesejatian diri itu adalah keberadaan manusia sebagai pemenang (the winner). Itu sebabnya, Idul Fitri dinamai Hari Kemenangan.
Menurut fitrahnya, manusia ingin menang, tidak ingin kalah. Setiap anak manusia yang terlahir ke dunia, sejatinya pemenang, lantaran dalam proses pembuahan dalam rahim, ia telah mengalahkan ribuan saudara-saudaranya yang lain.
Pada kenyataannya, secara faktual, tidak semua orang bisa menjadi pemenang. Sebab, untuk meraih kemenangan, diperlukan persyaratan-persyaratan yang tidak ringan, berupa kualitas-kualitas, kompetensi, track record, dan yang tidak kalah pentingnya, keterampilan memilih strategi pemenangan.
Secara konsep, untuk meraih kemenangan, diperlukan beberapa atribut yang mesti dimiliki. Pertama, kecerdasan atau kekuatan (power).
Dalam psikologi modern, kecerdasan atau kekuatan itu meliputi kecerdasan fisik (physical quotient), kecerdasan intelektual (intelligence quotient), kecerdasan emosi/moral (emotional quotient), dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Kedua, keberanian (syaja`ah), berarti kesiapan tampil atau maju dalam situasi yang menakutkan atau membahayakan disertai kesediaan berkorban dan menanggung risiko.
Berkorban berarti sedia memberikan sesuatu yang berharga untuk sesuatu yang lebih berharga lagi. Menanggung risiko (risk taker) berarti siap menerima akibat, nyawa sekalipun, untuk mencapai tujuan dan cita-cita mulia.
Tak ada kemenangan tanpa keberanian. Semua cerita kemenangan, sejatinya adalah cerita keberanian. Orang bijak berkata: “Ketahuilah, semua kesulitan tak akan bisa dihilangkan, dan semua kemuliaan tak pernah bisa dicapai, kecuali hanya dengan keberanian.”
Ketiga, kejuangan (jihad), berarti mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk mencapai kemenangan.
Jihad juga bermakna masuk ke gelanggang pertarungan dengan menjadi pelaku atau pemain, bukan menjadi penonton, apalagi pengacau atau perusuh pertandingan. Hal ini, karena pemenang atau gelar juara diberikan hanya kepada pemain. Lain tidak!
Terakhir, selain tiga hal di atas, kemenanangan memerlukan ketahanan (determinasi) dan kegigihan (persistent) dalam perjuangan.
Firman Allah SWT: “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (pemenang), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 139).
Ayat ini menggarisbawahi, sikap lemah dan kesedihan yang berkepanjangan (demoralisasi) merupakan penghambat kemajuan dan kemenangan.
Pakar tafsir Ibn Asyur, memandang al-wahan dan al-hazan sebagai penyakit jiwa (mental block) yang membuat manusia tak bisa melakukan perlawanan (tark al-muqawamah).
Al-hazn itu bisa dimaknai sebagai kondisi jiwa di mana seorang merasa dirinya tidak berharga (worthless) disertai perasaan putus asa (hopless) dan dengan begitu sulit diselamatkan (helpless). Al-Hazn tidak bisa bertemu dengan kemenangan, karenanya harus dijauhi.
Ibadah puasa menjadi penting, lantaran berfungsi mencegah penyakit-penyakit mental dan menumbuhkan sifat-sifat pemenang seperti telah disebutkan di atas.
Bahkan, ibadah ini menjadi istimewa, karena pada hakikatnya ia merupakan pusat restorasi rohani yang mampu mengembalikan manusia kepada jati diri (fitrah)-nya.
Maka, pada momen Idul Fitri ini, kepada orang-orang yang puasa pantas disampaikan ucapan selamat: Minal Aidin wa al-Faizin. Selamat Kembali menjadi Pemenang! Wallahu a`lam!