Kamis 24 Jul 2014 15:57 WIB

Penderita Hydrocephalus, Korban Kapitalisasi Kesehatan

Rizkiyanti.
Foto: Dok BWA
Rizkiyanti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebelum berangkat sekolah, Rizkiyanti (9 tahun) nampak asyik bermain sendiri saat menemani ibunya berjualan nasi uduk di depan rumah gang H Musa Petukangan, Ciledug Jakarta Selatan.

Teman-teman sebayanya sudah duduk di kelas 3 atau 4 SD. Namun, Rizkiyanti masih saja belajar di sekolah Taman Kanak-Kanak. Hal ini karena perkembangan otaknya tidak seperti  anak lain.

Ibunda Suryati (43 tahun) merasakan ada kelainan pada anaknya semenjak lahir. Dahinya empuk, tidak keras seperti bayi pada umumnya. Bidan merujuk Rizkiyanti ke salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan.

Menurut dokter, Rizkiyanti mengidap penyakit penumpukan cairan di dalam otak (hydrocephalus). Maka harus segera dioperasi untuk membuang cairan di kepala dengan pemasangan selang dari kepala sampai ke perut.

Namun, harga selang cukup mahal, kw-2 saja sudah Rp 4,5 juta. Lantaran pihak rumah sakit tetap tidak mau menggratiskan selang tersebut, walhasil dua bulan Rizkiyanti dibiarkan tanpa diambil tindakan sehingga kepalanya semakin membesar dengan cepat, seiring bertambah banyaknya cairan dalam otak.

“Akhirnya seluruh orang yang ada di rumah sakit itu mulai dari dokter sampai petugas kebersihan dan pasien patungan untuk membeli selang tersebut. Jadi, bisa operasi pas umur empat bulan,” kata Suryati sambil menangis mengenang peristiwa pada 2005 tersebut.

Pascaoperasi, kepala Rizkiyanti berhenti membesar. Tetapi sejak saat itu, dua sampai tiga kali dalam sebulan Rizkiyanti harus kontrol kesehatan ke rumah sakit, meminum obat-obatan dan asupan gizi yang cukup agar kondisi kesehatannya stabil.

Bagi keluarga Rizkiyanti melakukan rutinitas itu tidaklah mudah, mengingat biaya yang dikeluarkan untuk ongkos, obat-obatan serta vitamin perbulannya cukup besar. Paling tidak diperlukan Rp 3 juta per bulan.

Pengeluaran yang besar ini tidak seimbang dengan pendapatan ayahanda Rohadi (50 tahun) yang hanya seorang penjahit, yang kerap kali hanya cukup untuk biaya kontrak rumah dan makan sehari-hari. Namun demikian, ibunda Suryati dan kakanda Aldi (17 tahun) tidak tinggal diam.

Di sela-sela kesibukannya mengurus Rizkiyanti, Suryati berjualan nasi uduk di depan rumahnya. Sedangkan Aldi, sepulang sekolah di SMA menjadi pekerja lepas di tempat cuci motor. “Saya lakukan ini supaya saya mandiri dan bisa bantu adik saya,” ujar Aldi.

Untuk mengurangi beban keluarga Rizkiyanti, melalui program Zakat Peer to Peer (ZPP), Badan Wakaf Alquran (BWA) mengajak kaum Muslimin mendonasikan sebagian hartanya untuk biaya berobat jalan Rikziyanti untuk satu tahun ke depan. Dengan wasilah ini, semoga Allah SWT mempermudah urusan kita semua baik di dunia maupun di akhirat.

“Dalam harta Anda ada kak untuk Rizkiyanti. Ayo tunaikan zakat dan donasi Anda untuk Rizkiyanti. Kunjungi www.wakafquran.org!” demikian pesan BWA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement