REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tinggal selangkah lagi menuju pengesahan Revisi Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 47/2004, yakni menanti pembubuhan tanda tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada draf RPP. Namun, sejak draf berada di meja presiden pada Jumat (20/6), RPP belum kunjung teken.
Itu artinya, genap 10 hari pengesahan RPP mangkrak. "Sampai hari ini, Senin (30/6), Presiden SBY belum menandatangani RPP," ungkap Sekretaris Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), Muhammadiyah Amin.
Inspektur Jenderal Kemenag, M Jasin, pun memastikan sampai RPP tersebut masih berada di meja Presiden SBY dan belum ditandatangani.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berjanji kalau ada kesempatan bertemu di Isana Negara, akan meminta Presiden SBY untuk segera mengesahkan RPP. "Presiden kita itu kan urusannya banyak, mudah-mudahan saja bisa cepat," katanya.
RPP Nomor 47 tahun 2004 berisi tentang jenis tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Agama. Salah satu revisi yang saat ini masih menanti untuk disahkan Presiden adalah tentang pengaturan tarif nikah agar tidak ada lagi kasus gratifikasi di kalangan penghulu.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Penghulu Indonesia Wagimun AW masih menanti pengesahan RPP. Ia pun mengimbau agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut andil dalam mendorong pengesahan RPP oleh Presiden.
Jika RPP disahkan nanti, para penghulu dipastikan terhindar dari praktik gratikasi, serta menjalankan profesinya dengan aman dan nyaman. Selain itu, masyarakat pun akan memiliki kejelasan dalam menetapkan tarif nikah ketika hendak mencatatkan peristiwa nikahnya di Kantor Urusan Agama (KUA).
Nantinya, hanya ada dua kelompok tarif nikah di KUA, yakni nol rupiah jika pencatatan nikah dilakukan di dalam kantor KUA, dan membayar Rp 600 ribu bagi masyarakat yang melakukan pencatatan nikah di luar jam kerja atau di luar kantor KUA.