REPUBLIKA.CO.ID,
Permen harus komprehensif dan tidak setengah-setengah.
APMI, menurut dia, sangat menyayangkan pembahasan draf permen tahap kedua yang dilakukan secara internal di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Sebagai pengusul permen sekaligus perwakilan dari masyarakat Muslim, APMI seharusnya dilibatkan dalam pembahasan draf.
"Sampai saat ini, kami tidak dilibatkan, apa lagi diberi tahu soal pembahasan permen tahap dua dan final, dari kementerian tidak ada komunikasi," kata Helmi.
APMI terdiri atas enam organisasi pemuda Islam, di antaranya, PII, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK).
APMI bertekad terus mengawal pembahasan permen dari awal hingga disahkan. Tujuannya agar permen soal seragam sekolah berdampak baik bagi kebebasan berjilbab pelajar Muslimah. Permen harus komprehensif dan tidak setengah-setengah.
Bersifat umum
Sekretaris Ditjen Pendidikan Menengah Kemendikbud Sutanto menyangkal bahwa pasal sanksi dalam permen tersebut bias. Ia menegaskan, sanksi dalam permen ini memang bersifat umum.
Sebab, nantinya jika ada pelanggaran, akan disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya. Sementara, rujukan mengenai sanksi yang lebih spesifik akan diserahkan kepada penegak hukum. "Tidak bias karena aturan hukumnya memang begitu," kata dia.
Draf permen, lanjut dia, baru akan diperlihatkan kepada publik setelah ditandatangani menteri. Mengenai tidak dilibatkannya unsur masyarakat, terutama PII sebagai pengusul permen, Sutanto mengatakan, pembahasan sudah cukup oleh internal Kemendikbud. "Kita juga kan sudah mengundang perwakilan dari daerah, seperti Manado, Bali, dan DKI," kata dia.
Sementara, Ketua Bidang Penyelidikan Komnas HAM Maneger Nasution mengapresiasi adanya usulan dari masyarakat sehingga permen dibuat. "Meski, sebetulnya belum menjawab semua persoalan toleransi di sekolah," kata dia.
Idealnya, kata Nasution, presidenlah yang mengambil inisiatif untuk menerbitkan PP tentang legalisasi pakaian dinas dan kerja bagi lembaga pendidikan, sekolah, TNI, Polri, PNS, dan lembaga swasta.
Menutup aurat, menurut dia, merupakan bagian dari pengamalan keagaman yang dijamin oleh konstitusi dan UU. Karena itu, negara tidak boleh menunda, apalagi mengabaikan hak-hak dasar tersebut karena termasuk pelanggaran HAM.