REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fernan Rahadi
Tiga tahun bisa membaca kitab kuning.
Istilah kitab kuning sudah dikenal di kalangan para santri dan kiai yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, khususnya pesantren yang ada nilai salafiahnya.
Dinamai kitab kuning karena bahan kertasnya berwarna kuning. Hal ini untuk memudahkan orang-orang pada masa lalu untuk membaca dalam keadaan gelap, mengingat saat itu penerangan belum memadai.
Selama satu dekade terakhir ini, pengajaran kitab-kitab kuning di pondok-pondok pesantren sudah jauh berkurang. Akan tetapi, tidak begitu di Pondok Pesantren At-Tarbiyah.
Pesantren yang terletak di Dusun Margamukti RT 04 RW 04 Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat secara konsisten terus mengajarkan kitab kuning. Di pondok tersebut, pendidikan kitab kuning masih menjadi yang utama.
“Kami sejak awal berdiri sampai sekarang konsisten mengajari kitab kuning kepada para santri,” ujar pemimpin Pondok Pesantren At-Tarbiyah KH Afief Abdul Lathief kepada Republika baru-baru ini.
Sampai saat ini, kitab kuning yang diajarkan meliputi ilmu fikih, akidah, akhlak, tasawuf, tata bahasa Arab (ilmu nahwu dan ilmu sharaf), hadis, tafsir, ‘ulumul qur’aan, hingga ilmu sosial dan kemasyarakatan (muamalah). “Metode yang kami pakai merupakan modifikasi dari salafi disesuaikan tuntutan zaman.”
Ia memandang pengajaran kitab kuning di pesantren-pesantren sudah semakin langka belakangan ini. Banyak pondok pesantren (ponpes) dinilainya sudah kehilangan arah.
Salah satu tantangannya memberi pendidikan kitab kuning, ujar Afief, adalah kemunculan teknologi informasi berupa internet yang semakin mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Para santri saat ini sudah biasa memanfaatkan internet melalui telepon-telepon genggam yang mereka miliki.
“Kemudahan mengakses internet memang merupakan kemajuan di bidang teknologi, akan tetapi sering yang diambil (para santri) adalah sisi negatifnya.''
Hal ini, salah satu yang membuat gairah mempelajari kitab kuning semakin berkurang. ''Terus terang tantangan kami saat ini lebih berat dibandingkan dulu,” kata Kiai Afief.
Selain masalah teknologi, masalah kedisiplinan juga menjadi pekerjaan rumah banyak ponpes. Kiai Afief mengungkapkan, sedikit saja tindakan tegas yang dilakukan akan dipandang sebagai kekerasan yang melanggar hak asasi manusia (HAM).