Jumat 23 May 2014 20:59 WIB

BWI : Potensi Wakaf Indonesia Capai 120 Triliun

Rep: c64/ Red: Maman Sudiaman
Badan Wakaf Indonesia
Badan Wakaf Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat, aset wakaf uang yang sudah terkumpul di Indonesia per Desember 2013 baru mencapai Rp 145,8 M. Sedangkan popetensi wakaf uang sebesar Rp 120 triliun per tahunya. Potensi ini diasumsukan 100 juta warga negara  bersedia mewakafkan uangnya sebesar Rp 100 ribu per bulan.

Aset wakaf uang tertinggi di Indonesia saat ini per Desember 2013 masih dipegang oleh Dompet Dhuafa sekitar Rp 83.155 juta, kemudian pada posisi kedua ada Lembaga Bangun Nurani Bangsa ESQ sekitar Rp 47 jutajuta, PKPU sekitar Rp 4.559 juta, setelah itu baru BWI sekitar Rp 4.093 juta. Apabila dijumlahkan dengan lembaga yang mengelola wakaf, totalnya mencapai  Rp 145,8 miliar.

Menurut Direktur Eksekutif Badan Wakaf IUndonesia (BWI), Achmad Djunaedi, data resmi pemerintah, penduduk miskin berjumlah 28,5 juta orang. Namun, menurut Bank Dunia jumlah warga miskin di Indonesia mnecapai 100 juta orang. Hal tersebut dikarekan ada kesenjangan dalam kepemilikan lahan dan asset di Indonesia, seperti ada satu persen penduduk kaya yang menguasai 70 persen lahan yang ada, sedangkan 99 persen penduduk hanya mengausasi 30 persen lahan sisanya.

“Ditambah dengan harga tanah yang semakin mahal, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta,” katanya, saat bersilaturahim dengan jajaran Republika, Jumat (23/5).

Disebutkannya, terdapat beberapa contoh asset wakaf di Jakarta yang memilki potensial besar seperti, Masjid Baitul Mughni di Gatot Subroto, Jaksel; Masjid Said Naum di Tanah Abang, Jakpus; Masjid Raya Pondok Indah, Jaksel, Masjid Agung Sunda Kelapa, wakaf Darul Aitam di Tanah Abang, Jakpus; Masjid Hidayatullah di Jl Sudirman, Jakarta dan beberapa masjid lainnya di  Jakarta.

Terkait hal ini terdapat beberapa tantangan dalam pengelolaan wakaf yaitu, tanah wakaf tidak produktif, pola pikir nazhir masih tradisional, wakaf uang belum tersebar luas, program wakaf yang melanggar undang-undang (seperti rekening penampung wakaf uang tidak melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, tidak terdaftar dalam BWI dan tidak ada bukti Sertifikat wakaf uang yang sah).

 “Kemudian, tantangan terakhir adalah banyak asset wakat di jantung kota terancam seperi pembangunan real estate di kota-kota besar seringkali menggusur aset-aset wakaf yang pada umumnya berupa masjid maupun mushlala. Padahal UU melarang tegas penggusuran tanah wakaf, kecuali ada izin BWI dan menteri Agama,” lanjutnya.

Selain itu, adanya ketidaktahuan nazhir tentang aturan perwakafan membuat mereka tidak mampu melindungi aset wakaf dari upaya penyerobotan, ruislag bawah tangan, dan lainnya.

Oleh karena itu, kata Djunaedi, media mempunyai peran dlam hal ini yaitu ikut menedukasi masyarakat mengenai peraturan perundangan wakaf, wakaf produktif, wakaf uang, dan ruislag wakaf. Turut serta menjaga aset wakaf, terutama yang ada ditengah kota, dari upaya-upaya pengambilan dan/atau marjinalisasi oleh kaum pemodal. Kemudian, menyemarakan kegiatan perwakafan dengan peliputan lebih luas terkait kegiatan para nazhir. “Diharap media memberikan kontribusi besar dalam meingkatkan sinergi lebih banyak dan merangkul lebih banyak dalam berwakaf.” Kata Achmad Djunaedi kepada Republika.

Wakil Ketua BWI Mustafa Edwin Nasution menyampaikan, wakaf bisa menjadi tulang punggung kemakmuran, kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia baik untuk dunia maupun akhirat. Dikarenakan, hal tersebut bukanlah yang susah melainkan hal yang harus dirubah dalam karakter dan pemahaman tentang bagaimana masyarakat memberikan sesuatu yang sederhana untuk menjadi sesuatu yang besar.

“Oleh karena itu saya berharap, media dapat membantu mengembangkan dan mensosialisasikan kegiatan berwakaf, sehingga dapat membangun bangsa ini dalam pengoptimalisasikan wakaf di Indonesia. Untuk mewejudkannya diperulkan kerja keras dan optimis dalam melakukannya,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement