REPUBLIKA.CO.ID,
Sekolah yang melarang jilbab otomatis melanggar undang-undang.
JAKARTA – Pembahasan draf peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) mengenai seragam rencananya tuntas, Jumat (23/5). Dalam peraturan ini tercantum pula penegasan kebebasan berjilbab bagi siswi Muslimah.
Peraturan tersebut menggantikan SK Ditjen Dikdasmen Nomor 100 Tahun 1999. Perubahan ada kaitan juga dengan kasus pelarangan jilbab di 40 sekolah di Bali. Hingga saat ini, kasusnya belum selesai dan diharapkan peraturan menteri dapat menuntaskannya.
Pada 5 Mei lalu, Kemendikbud melakukan pembahasan pertama draf peraturan itu. Menurut Harris tak ada hambatan yang membuat pengesahan Permendikbud tertunda. Dan pembahasan kedua, bakal berlangsung Jumat mendatang. Langsung mencapai tahap akhir.
‘’Finalnya Jumat. Semua sudah sepakat dan kemungkinan tahun ajaran baru bisa langsung disahkan setelah menteri tanda tangan,’’ kata Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harris Iskandar, Rabu (21/5).
Penerbitan Permendikbud, jelas Harris, dipicu kebijakan beberapa sekolah di daerah minoritas Muslim yang diskriminatif. Salah satunya melalui larangan penggunaan jilbab di sekolah. Padahal, sekolah tak boleh menghambat pelaksanaan keyakinan siswanya.
Pelarangan berjilbab, termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Ia menambahkan, dalam peraturan baru tak tercantum penerapan sanksi bagi sekolah yang tak menaatinya. ‘’Sebab, sekolah yang tak mengabaikan Permendikbud otomatis melanggar undang-undang.’’
Ini berarti, mereka yang melanggar bisa dituntut dan diadili di pengadilan. Pendidikan mengenai toleransi, tak pula tercantum secara terperinci.
Harris beralasan, kurikulun 2013 menyatakan pendidikan toleransi mesti masuk ke semua mata pelajaran. “Gurunya juga, otomatis harus mengajarkan nilai-nilai toleransi pada siswanya,” lanjut dia.
Direktur Pendidikan Agama Islam Sekolah Umum Kementerian Agama Amin Haedari menyatakan Permendikbud perlu segera disahkan. Sebab, pelarangan jilbab terhadap siswi Muslim termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
Siapapun tidak bisa melarang seseorang melaksanakan ajaran agamanya dengan baik. Dan sekolah, kata dia, sepatutnya menjamin siswanya menjalankan keyakinan agamanya. ’’Kebebasan berjilbab sama pentingnya dengan pemberian pelajaran agama bagi mereka.’’
Sambil menunggu Permendikbud selesai, Ketua Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) Helmy al-Djufri terus menjalin konsolidasi dan komunikasi dengan Aliansi Pelajar Mahasiswa Indonesia untuk kebebasan berjilbab bagi pelajar.
Menurut dia, PII bersilaturahim dengan sejumlah tokoh agama, budayawan, dan politisi Muslim di Bali. Ia berharap mereka ikut mendorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh segera menuntaskan dan mengesahkan Permendikbud.
Advokasi dan pembinaan di Bali juga terus berlangsung. PII menyelenggarakan Muslim Student Camp di desa Pegayaman pada 20 sampai 22 Mei 2014. Acara berkemah ini diikuti peserta yang terdiri dari pelajar SD sampai SMA.
“Kegiatan ini diselenggarakan untuk memperkuat akidah generasi muda, karena pembinaan akidah di Bali belum banyak yang menggarap,” kata Helmy. PII Bali, ujar dia, saat ini mempersiapkan festival pelajar Bali yang akan terselenggara Juni mendatang.
Saat festival, kata Helmy, akan ada pembagian jilbab untuk siswi Muslim. “Jilbab yang dibagikan berasal dari sumbangan masyarakat di Pulau Jawa dan wilayah lainnya melalui program gerakan 100 ribu.’’