Senin 19 May 2014 03:05 WIB

Negara dan Filantropi Islam (3-habis)

Warga antre untuk mendapatkan zakat.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan/c
Warga antre untuk mendapatkan zakat.

Oleh: Prof Azyumardi Azra*

Meski bersikap indifferent terhadap agama, Indonesia mengakui eksistensi agama tanpa menyebut agama tertentu —khususnya Islam sebagai agama mayoritas— sebagai dasar atau ideologi negara.

Namun, Islam menjadi tetap faktor penting karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.

Dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Muslim dan negara bagaimanapun memunculkan nuansa baru dalam hubungan antara negara dan agama.

Perubahan itu terlihat jelas sejak masa paroan kedua rezim Orde Baru. Seperti disinggung Ricklefs, sejak berkuasa, presiden Soeharto percaya agama dapat dia gunakan sebagai alat kontrol sosial dan agenda antikomunis.

Meski demikian, dalam paroan pertama kekuasaannya, banyak kalangan umat merasakan kebijakan Soeharto yang tidak bersahabat kepada Islam.

Barulah dalam paroan kedua kedua kekuasaannya, khususnya sejak 1990-an, presiden Soeharto mengambil langkah rekonsiliatif dengan umat Islam.

Perubahan sikap dan kebijakan presiden Soeharto menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan filantropi Islam.

Soeharto sendiri memprakarsai usaha filantropi Islam yang kemudian terbukti menjadi salah satu warisan (legacy) pentingnya, yaitu Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) yang memungut dana Rp 1.000 dari setiap PNS dan anggota ABRI beragama Islam, yang selanjutnya digunakan untuk membangun masjid dan kegiatan dakwah.

Dengan demikian, negara —seperti diwakili presiden Soeharto— secara  ‘tidak resmi’ telah mengambil peran penting dalam filantropi Islam.

Pada saat yang sama kemajuan pendidikan dan ekonomi umat menghasilkan peningkatan potensi dana filantropi Islam Indonesia. Ini mendorong munculnya LSM advokasi filantropi Islam yang memunculkan berbagai kisah sukses.

*Cendekiawan Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement