Senin 19 May 2014 01:06 WIB

Negara dan Filantropi Islam (1)

Warga antre untuk mendapatkan zakat.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan/c
Warga antre untuk mendapatkan zakat.

Oleh: Prof Azyumardi Azra*

Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infak, sedekah, wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun.

Meski realisasinya masih jauh daripada potensi itu, ziswaf yang terus bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di antara berbagai lembaga. Sejak dari amir masjid di masjid lingkungan pertetanggaan, ormas Islam, LSM kolektor-distributor, sampai pada pemerintah.

Adanya tarik tambang antara pihak-pihak tersebut terlihat dari judicial review UU No 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan LSM kolektor-distributor ziswaf pada 2011.

Koalisi LSM yang bergerak dalam pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang terlalu besar kepada Baznas.

Mereka memandang hal itu dapat mengancam eksistensi lembaga pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif sukses dalam menggali dan meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak 1990-an.

Isu seperti ini terkait banyak dengan perkembangan historis filantropi Islam Indonesia di masa silam. Karena itu, karya Dr Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013) memiliki signifikansi khusus.

Buku ini merupakan karya komprehensif pertama tentang sejarah filantropi Islam Indonesia sejak masa awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer.

*Cendekiawan Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement