REPUBLIKA.CO.ID,
Baru puluhan rumah potong ayam yang diakui LPPOM MUI.
JAKARTA -- Banyak daging ayam lokal yang beredar di pasar modern atau pasar swalayan tak bersertifikat halal. Menurut Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) persentasenya mencapai 90 persen.
‘’Itu penelusuran kami di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bandung, Surabaya, dan Makassar,’’ kata Ketua Umum Himpuli Ade M Zulkarnain saat menyerahkan laporan penelusuran kehalalan produk daging ayam ke MUI, Senin (12/5).
Menurut dia, kondisi daging ayam itu tak sesuai UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hasil penelurusan di sejumlah kota itu, kata dia, telah diserahkan ke Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Namun tak ada respons dari dua kementerian tersebut. Ia menambahkan, Himpuli selama tiga tahun melakukan penelurusan di berbagai pasar swalayan premium sampai yang bertaraf sedang.
‘’Temuannya seperti itu, 90 persen daging ayam tak halal dan sehat,’’ kata Ade. Mestinya produk-produk ini sesuai standar agama dan undang-undang. Dari segi agama harus disembelih dengan cara halal dan bersertifikat halal.
Dari sisi undang-undang, produk pun mesti mendapatkan sertifikat sehat. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sangat berbeda. Karena sebagian besar daging ayam lokal di pasar modern tidak bersertifikat halal dan sehat.
Ade pun mengutip peneliti Jerman pada 2008, yang menyatakan 83 persen penampungan dan pemotongan ayam diprediksi terjangkit virus flu burung. Kondisi seperti di atas akibat pemerintah hanya membuat aturan.
Tak ada sarana yang dapat mendukung terlaksananya aturan itu di lapangan. Yakni produk daging ayam yang halal dan sehat.’’Secara ekonomi, pengusaha unggas yang rugi kalau tak memiliki sertifikat halal dan sehat atas produknya,’’ ujar Ade.
Padahal saat perdagangan bebas internasional mulai berlaku, semua produk harus bersertifikasi. Setiap tahun produksi ayam lokal mencapai 280 ribu ton. Sebanyak 30 persennya dijual ke pasar swalayan modern.
Menurut Ade, per hari terdapat permintaan sekitar 300 ribu ekor ayam namun baru terpenuhi 90 ribu ekor. Ia berkeinginan, tak hanya pengelola produk daging ayam yang memiliki sertifikat halal maupun sehat. Tenaga penyembelihnya pun, mestinya bersertifikat. Mereka menyembelih dengan cara sesuai ajaran Islam.
Ketua Umum MUI Din Syamsuddin mengatakan, MUI menerima pengaduan Himpuli. Terkait pengawasan dan penegakan hukum bukanlah kewenangan MUI. Ada pihak lain yang mempunyai kompetensi untuk menjalankannya.
Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI Osmena Gunawan mengungkapkan, masih belum banyak rumah pemotongan ayam yang bersertifikat halal dari lembaganya.
‘’Jumlahnya mungkin baru mencapai puluhan unit ,’’ kata Osmena. Mereka sebagian besar merupakan perusahaan berskala besar. Secara berkala LPPOM MUI melakukan pemantauan terhadap standar penyembelihan halal di sana.
Setiap hari, mereka memotong hingga puluhan ribu ekor ayam untuk disebar ke pasar. Dengan demikian, masih banyak kebutuhan yang belum dapat dipenuhi rumah pemotongan ayam bersertifikat halal.
Ia juga mencermati penyembelihan yang dilakukan para pedagang ayam di pasar-pasar. ‘’Kita tak tahu apakah mereka sudah menyembelihnya dengan cara Islam atau belum.’’ Ayam yang disembelih, langsung dimasukkan ke dalam air mendidih.
Padahal belum diketahui mati atau belumnya ayam itu. Isu lainnya adalah ayam mati kemarin (tiren), berpewarna, atau disuntik. Mereka kebanyakan adalah pengusaha kecil dan menengah.
Osmena tak berharap isu ini tak membuat mereka terkena dampak. Dinas-dinas peternakan di provinsi harusnya mampu mengurus soal ini dengan baik. LPPOM MUI, kata dia, ingin berkoordinasi dengan mereka.