REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menghendaki musyawarah dalam menyelesaikan polemik PP Zakat.
Keinginan itu disampaikan Ketua Umum Baznas Didin Hafidhuddin merespons rencana uji materiil terhadap PP tersebut.
Forum Zakat (FOZ) berencana mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung awal pekan depan. Mereka mempersoalkan PP Nomor 14 Tahun 2014 itu yang dianggap justru memberikan monopoli kepada Baznas dalam pengelolaan zakat.
Didin mengatakan, pengajuan uji materiil merupakan hak masyarakat termasuk lembaga amil zakat (LAZ) yang tergabung dalam FOZ. Lagi pula, pasti ada pertimbangan matang saat akan mengajukan uji materiil.
Namun demikian, Didin sebenarnya berharap tak perlu ada pengujian. ‘’Masalah yang menyangkut PP Zakat dapat dimusyawarahkan bersama antara LAZ dan badan amil zakat (BAZ),’’ katanya, Senin (12/5).
Di sisi lain, Baznas telah melakukan pendekatan dan silaturahim ke pimpinan-pimpinan LAZ. Permasalahan ini seolah-seolah melahirkan dikotomi antara LAZ dan BAZ. Padahal kedua-duanya wadah para amil dalam mengelola zakat.
Didin berharap polemik PP Zakat tidak membuat masyarakat kehilangan kepercayaan para muzaki atau wajib zakat kepada lembaga dan badan zakat. Apalagi yang selama ini ingin dicapai adalah peningkatan kepercayaan para muzaki.
Masyarakat, ujar dia, tak mempersoalkan peraturan yang sudah ada. Sebab, mereka berpikir hal terpenting adalah lembaga dan badan amil zakat amanah dalam menyalurkan zakat kepada yang berhak menerima.
‘’Masyarakat mementingkan LAZ dan BAZ yang dapat memegang amanah dan dipercaya bukan peraturannya,’’ kata Didin. Jadi yang justru mempermasalahkan PP Zakat adalah para pengelola zakatnya bukan masyarakat.
Presiden Direktur Dompet Dhuafa Ahmad Juwaini menegaskan, uji materiil sangat perlu. Tujuannya agar ada kepastian hukum. Dalam PP Zakat masih terdapat sejumlah poin yang melahirkan pemahaman berbeda.
Apalagi, PP ini merupakan aturan pelaksana Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Juwaini menjelaskan, keselarasan isi undang-undang zakat dengan peraturan pelaksana penting agar LAZ tak kebingunan dalam mengelola zakat.
Besarnya dampak terhadap LAZ bergantung pada tafsir PP Zakat yang diberlakukan kepada LAZ. Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah pembatasan jumlah lembaga amil zakat (LAZ) di daerah dan provinsi.
Muncul proses birokrasi yang berbelit dalam upaya menghimpun zakat dari masyarakat. LAZ boleh mempunyai cabang di semua provinsi. Caranya dengan mengajukan izin pendirian ke pemerintah provinsi bersangkutan.
Begitu pula di kabupaten atau kota. Namun, setiap LAZ hanya boleh memiliki satu cabang. Padahal, LAZ milik ormas Islam seperti Muhammadiyah serta NU, bisa punya lebih dari satu cabang.
LAZ korporat juga resah. Jika hendak menjadi LAZ tersendiri, harus mendirikan organisasi semisal yayasan tersendiri pula. Padahal, zakat yang dikumpulkan berasal dari karyawan perusahaan tempat LAZ korporat itu ada.
LAZ korporat bisa saja menjadi bagian unit pengumpul zakat (UPZ) badan amil zakat nasional dengan kewajiban menyerahkan laporan rutin. Tapi, kewenangannya pasti dibatasi.
Menurut Juwaini, PP Zakat ini menimbulkan kesulitan bagi LAZ dalam menghimpun zakat. Ia juga menyatakan, permasalahan ini semoga tak sampai mengurangi kepercayaan masyarakat untuk menunaikan zakat melalaui lembaga zakat.
Ia menekankan pula dialog dan kerja sama antarorganisasi pengelola zakat. Dengan demikian, zakat dapat didayagunakan dengan baik untuk mengatasi kemiskinan.