Jumat 09 May 2014 09:24 WIB

Sekolah Taman Ayub

Bocah-bocah Pakistan ini tengah belajar menghapal Alquran di sebuah madrasah di Islamabad.
Foto: Reuters/Rebecca Conway
Bocah-bocah Pakistan ini tengah belajar menghapal Alquran di sebuah madrasah di Islamabad.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi

Sebuah taman menjelma sebagai tempat Muhammad Ayub bederma. Bukan uang yang ia berikan melainkan ilmu.

Di taman yang terletak di sudut pasar ternama di Islamabad, Pakistan yakni Pasar Kohsar, ia memulainya dengan tiga buku tulis, pensil, dan tiga   murid.

Mereka adalah anak-anak jalanan. Ayub mengubah taman tersebut menjadi kelas terbuka. Semula tiga anak dan lambat-laun ia memiliki ratusan murid. Semua anak jalanan itu gratis memperoleh pendidikan dari Ayub. Dan ia memulainya sekitar 26 tahun lalu.

Kematian orang tuanya, mengantarkan Ayub ke Islamabad. Ia dituntut menanggung biaya hidup saudara-saudaranya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia meninggalkan tempat kelahirannya, Bhera, Distrik, Sargodha, Provinsi Punjab.

Di Islamabad ia menemukan pekerjaan sebagai buruh. Uang yang terkumpul, sebagian untuk saudara-saudaranya dan sisanya untuk hidup serta kebutuhan pendidikannya sendiri. Ia mengambil kursus guru dan sempat menjadi mahasiswa Allama Iqbal Open University.

Selama Ayub berjuang memenuhi kebutuhan hidup, kepekaan hatinya terasah. Ia mengamati kemiskinan di sekitarnya. ‘’Saya bertemu anak-anak jalanan. Mereka memungut kain bekas atau menjual apa saja yang dimiliki,’’ katanya seperti dilansir Deutsche Welle, Rabu (7/5).

Saat ditanya mengapa tak pergi ke sekolah, kata Ayub, mereka menjawab orang tuanya tak punya cukup dana. Ia tersentuh dan menawarkan pelajaran gratis ke mereka. Tiga murid ia ajari sebagai rintisan berdirinya sekolah anak jalanan.

Pengajaran berlangsung di sebuah taman terbuka. Semula, banyak warga kaya menentang penggunaan taman tersebut untuk sekolah anak-anak jalanan. ‘’Sejumlah orang menuding saya mata-mata, agen asing dan yang lain berpikir saya seorang Kristen,’’ ujar Ayub.

Namun, setelah Ayub mulai mengajar anak-anak jalanan, orang-orang itu tak lagi bersuara. Ia mengajari sebagian besar anak-anak jalanan pada pukul 15.00 hingga 17.00 waktu setempat. Ia menegaskan, setiap orang yang sudah berpendidikan menyebarkan ilmunya.

Itu bisa dilakukan di rumah, kota, dan di manapun.  Jika mereka mengajarkan satu huruf saja setiap harinya maka kesenjangan pendidikan dapat teratasi. Prinsip ini mempengaruhi jalan hidup keluarganya.

Menurut laman berita Dawn, istri Ayub mengajar bahasa Arab di komunitasnya dan anak perempuannya juga mengajar. Hampir 26 tahun kemudian, murid sekolah jalanan berlipat. Jumlahnya mencapai 330 orang lebih.

Orang tua mereka kebanyakan bekerja di bungalow orang-orang kaya. Para murid yang pernah belajar di sekolah Ayub itu biasanya kembali dan membantu Ayub. Salah satunya Farhat Abbas. Dulunya, ia biasa pergi ke hutan mencari kayu dan menjualnya ke pasar.

Abbas ditarik Ayub ke sekolahnya. Akhirnya Ayub mampu mengantar anak didiknya itu ke perguruan tinggi. Murid-murid lainnya berhasil memperoleh kerja kantoran di Islamabad. Kini Ayub dibantu lima guru tetap di sekolahnya. Sejumlah donatur menyalurkan dana bantuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement