Jumat 09 May 2014 09:16 WIB

Miras Kian tak Terkendali

Rep: c67/c78/ Red: Damanhuri Zuhri
Miras
Foto: Fanny Octavianus/Antara
Miras

REPUBLIKA.CO.ID,

Pemerintah daerah sudah banyak yang mengajukan rancangan peraturan antimiras.

JAKARTA – Pemerintah pusat mestinya bangga dengan munculnya peraturan daerah (perda) miras nol persen. Termasuk perda lain yang memberikan kebaikan bagi masyarakat. Ini menunjukkan pemerintah daerah berupaya mewujudkan kebaikan bagi warganya.

‘’Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mencegah miras beredar,’’ kata cendekiawan Muslim, Didin Hafidhuddin, Kamis (8/5). Ini merupakan salah satu dakwah dalam membela kebenaran. Ia sangat mendukung pemerintah daerah yang berbuat demikian.

Didin berharap pemerintah pusat tak menghalangi keberadaan perda yang berdampak baik seperti perda miras nol persen. ‘’Bukan malah mendorong untuk merivisi atau menghilangkannya.’’ Dari sudut pandang apapun, miras menimbulkan dampak buruk.

Secara sosiologis, miras melahirkan masalah di dalam masyarakat dan tentu saja merugikan secara ekonomi.  Didin prihatin semakin hari peredaran miras kian tak terkendali. Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Muda menyampaikan pandangan senada.

Presidium ICMI Muda Harvick Hasnul Qolbi mendesak pemerintah pusat dan daerah serempat melarang peredaran miras. ‘’Sudah terlalu lama miras dibiarkan merajalela dan merusak generasi muda.’’ Sumber serangkaian perilaku kekerasan akarnya adalah miras.

Pemerintah pusat, tak boleh lagi mempertimbangkan sisi keuntungan dari peredaran miras di Indonesia. Ia mengakui keuntungannya memang tak kecil. DKI Jakarta, misalnya, pengelolaan APBD di sektor hiburan bisa lebih dari 20 persen termasuk miras.

Namun kerugian yang akan diderita negara jauh lebih besar kalau peredaran miras semakin tak terkendali. Menurut dia, pemabuk akan semakin marak.  Berdasarkan survei dan hasil laporan yang dihimpun ICMI Muda, para peminum miras sudah tersebar luas.

Mereka tak hanya di kota tetapi sudah ada di pelosok-pelosok desa. Ia menuturkan, tingkat penggunaan yang paling tinggi masih di perkotaan. Sebab, akses untuk memperoleh miras begitu mudah. Mereka bisa mendapatkannya di bar, kafe, mal, bahkan di minimarket.

Sebanyak 40-50 persen penduduk DKI Jakarta, baik yang transit maupun yang tetap, menjadi peminum miras. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan, kebanyakan peminum miras di perkotaan adalah kelompok usia produktif. Mereka pelajar dan pekerja pemula.

Harvick mengungkapkan, anak SMP kelas tiga rata-rata sudah mencicipi miras. Sedangkan paling tua itu usia kerja sekitar 30 tahun. ‘’Dari tingkatan ekonomi, kalangan hingga ke bawah, semuanya menggemari miras,’’ jelasnya.

Menurut dia, peredaran miras sangat marak. Mudahnya warga menjangkau miras disebabkan banyaknya oknum aparat yang menjadi penyalur. “Ini bisnis mafia, makanya tentu ada //back up// penyedia miras sampai ke daerah,” terangnya.

Jadi, satu-satunya cara untuk menghentikan miras yang sudah mengkhawatirkan ini adalah membuat peraturan tegas. Namun, pada kenyataannya, pemerintah kerap mendua. Karena pertimbangan pendapatan, pengawasan menjadi renggang.

Harvick mengusulkan, peredaran miras secara bebas harus dicegah dengan diawali evaluasi di tiap kabupaten atau kota. Setelah itu, digodok bersama DPRD untuk disahkan. ‘’Pemerintah daerah sudah banyak yang mengajukan rancangan peraturan antimiras.’’

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Achmad Satori Ismail menekankan adanya sikap serius pemerintah memberantas miras. Di antaranya, pemerintah harus berani memberantas pembuat miras itu sendiri. Sebab keberadaan mereka memperluas peredaran miras.

Selain itu, keberadaan miras di tempat-tempat tertentu harus diperketat. Misalnya, di area yang banyak aktifitas anak-anak atau di sekitar tempat ibadah. Ia mengakui memberantas miras sepenuhnya sangat sulit tapi harus terus dilakukan.

n c67/c78

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement