Jumat 09 May 2014 00:39 WIB

Shaikh Memperjuangkan Kesetaraan

Muslim India
Foto: OnIslam
Muslim India

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi

Semula, Khatoon Shaikh hanyalah seorang ibu rumah tangga. Namun, peristiwa pilu yang menimpa adik iparnya mengubah segalanya.

Sang adik menjadi korban kekerasan suaminya. Ia harus menghadapi sistem hukum yang menguntungkan laki-laki.

Shaikh yang tak berpendidikan formal dan tinggal di daerah miskin itu tergerak. Ia merasa harus melakukan perubahan.

Dan, 20 tahun lalu, dipicu kasus yang menimpa adik iparnya itu, ia berinisiatif mendirikan pengadilan khusus perempuan yang berbasis syariat Islam.

“Kami perlu sebuah tempat yang mendengarkan suara perempuan,” kata ibu tujuh anak ini seperti dikutip laman berita Huffington Post, Selasa (6/5).

Kini, ruang pengadilan yang semula berada di rumah Shaikh berpindah ke tempat lebih baik di Bandra, dekat Mumbai, India.

Bentuknya sebuah kantor yang terdiri atas dua ruangan. Sekarang dioperasikan oleh organisasi lebih besar, Indian Muslim Women’s Movement (IMWM). Shaikh membantu membidani lahirnya organisasi tersebut pada 2007. Ia masih belum bisa berpangku tangan.

Ada rencana besar yang sedang berjalan. Akhir tahun ini, ia bersama IMWM akan mengajukan rancangan hukum kesetaraan gender berbasis syariah ke parlemen India. “Kami menginginkannya,” kata Noorjehan Safia Niaz, salah satu pendiri IMWM.

Di India, semua Muslim berhak menyelesaikan sejumlah kasus, seperti keluarga, pernikahan, perceraian, waris, dan tunjangan suami kepada anak serta mantan istrinya dengan hukum Islam. Hak tersebut diakui sejak 1937.

Beberapa waktu berikutnya, muncul upaya melakukan sejumlah amendemen terhadap hukum keluarga itu. Namun, pemisahan diri India dari Pakistan pada 1947 membuat usaha itu terganjal sebab prioritas pemerintah lebih pada pembangunan ekonomi dan persatuan bangsa.

Hingga sekarang, masih ada penafsiran berbeda mengenai hukum keluarga itu. Bahkan, dalam komunitas Muslim sendiri, belum ada konsensus pada sejumlah isu. Di antaranya, mengenai poligami atau batas minimum usia untuk menikah.

Kebanyakan kasus keluarga masuk ke pengadilan yang ditangani pemuka agama dari kalangan laki-laki. Misalnya, dengan sistem hukum yang berlaku sekarang, pengadilan mengakui hak laki-laki secara sepihak memutuskan bercerai, baik secara lisan maupun tulisan.

Maknanya, seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya tanpa mengucapkan kalimat, “Saya menceraikan kamu,” sebanyak tiga kali di depan saksi. Terdapat pula sejumlah laporan, suami menceraikan istrinya melalui surat elektronik, pesan pendek, dan surat terdaftar.

Pada saat sang istri memasukkan namanya untuk sign in di akun surat elektroniknya, mereka dianggap menyetujui perceraian. “Ini sistem patriarki. Bahkan, di sejumlah tempat, perempuan tak diizinkan untuk datang ke pengadilan,” ujar Niaz.

Baru-baru ini, kejadian tersebut menimpa Samina Chisty. Setelah Chisty mengetahui suaminya berhubungan dengan perempuan lain, suaminya itu menyatakan cerai secara lisan tanpa kehadiran atau persetujuan darinya.

“Dia hanya memberi saya secarik kertas yang menyatakan kami bercerai,” kata Chisty di pengadilan syariah khusus perempuan di Bandra.

Gopika Solanki, profesor ilmu politik Carleton University, Ottawa, Kanada, yang mendalami undang-undang keluarga di India, mengungkapkan, perubahan sistem hukum merupakan topik yang sensitif di India.

Para pemuka agama biasanya tak terbuka dengan reformasi hukum yang nantinya berpihak pada perempuan. Menurut Solanki, Muslimah di Pakistan memperoleh perlindungan hukum lebih baik daripada Muslimah India.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement