REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH – Sejumlah Ormas Islam meminta media, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat internasional agar menghormati kekhususan Aceh di bidang pelaksanaan serta penerapan Syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) di provinsi itu.
"Masyarakat Aceh bahagia dengan penerapan Syariat Islam. Karena itu jangan perkeruh suasana penerapan Syariah Islam dengan cara memberikan komentar miring di media," kata juru bicara Ormas Islam Mustafa Husen Wolya, Kamis (8/5).
Hal tersebut disampaikan menanggapi sorotan berbagai pihak melalui media terkait pemberian hukuman cambuk terhadap pasangan yang melanggar Syariat Islam di Desa Lhokbani, Kota Langsa, Aceh.
Harapan tersebut disampaikan sejumlah Ormas Islam seperti Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Front Pembela Islam (FPI), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Gema Aneuk Muda Nanggro Aceh (GAMNA), Majelis Intelektual Ulama dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Kemudian Rabithah Taliban Aceh (RTA), Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), Nahdatul Ulama (NU) Aceh, Inshafuddin, Arimatea, serta Perti Aceh. "Komentar berbagai pihak, terutama oleh pihak asing di media itu sebenarnya mereka tidak mengerti duduk perkara dengan mengusik kebahagian rakyat Aceh," kata Mustafa.
Ia menjelaskan, sebenarnya penanganan kasus oleh Dinas Syariat Islam Kota Langsa terkait seorang janda di Lhokbani itu sudah tepat dan sesuai prosudur karena kasus tersebut mesti dipisahkan.
Pertama, Mustafa menjelaskan kasus perzinahan dan kedua kasus kriminal. Jadi, kasus perzinahan dikenakan sanksi hukum sesuai Syariat Islam yang berlaku di Aceh. Sementara kasus pemerkosaan dikenakan sanksi kriminal dan prosesnya di kepolisian.
Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa Ibrahim Latief juga telah menjelaskan, kasus perzinahan dan pemerkosaan dibagi dalam dua kasus terpisah. Untuk pemerkosaan, ditangani oleh polisi karena merupakan tindak pidana.
Sementara wanita yang menjadi korban pemerkosaan akan dicambuk bukan karena diperkosa, tapi karena kasus perzinahan sebelumnya dengan laki-laki yang bukan suaminya, sesuai Qanun Aceh Nomor 14/2003 tentang Khalwat dan Mesum.
Mustafa juga mengatakan, akhir-akhir ini banyak pihak yang mencari-cari kesalahan dan kelemahan secara masif terhadap penerapan syariat Islam di Aceh, dan hingga kini belum berhenti. Bahkan, semakin liar namun terorganisir secara sistematis.