REPUBLIKA.CO.ID, SIMFEROPOL -- Cobaan seolah tanpa henti menimpa Muslim Krimea. Dahulu, orang tua mereka diasingkan dari tanah kelahirannya. Kini, generasi penerus Muslim Krimea harus dihadapkan satu situasi yang lagi-lagi membuat mereka tidak nyaman.
Mereka berada ditengah-tengah ego besar pewaris Uni Soviet, Rusia dan Ukraina. Bagi Muslim Krimea, bersatu dengan Kiev sudah diputuskan sejak PM Uni Soviet kala itu, Nikita Kruschev memberikan wilayah Krimea pada Republik Sosialis Soviet Ukraina.
Kini, Rusia menganeksasi wilayah tersebut atas pertimbangan sejarah. Moskow meminta kembali wilayah itu. Aneksasi pun terjadi. "Jika ada konflik, sebagai minoritas, kita akan yang dirugikan," kata Useun Sarano, salah seorang sesepuh Muslim Krimea, seperti dilansir thehuffingtonpost.com, Rabu (7/5).
"Kami cuma khawatir, ini akan menjadi Yugoslavia baru," kata dia.
Rustem, pensiunan lain mengatakan para pemimpin komunitas Muslim tetap low profile ditengah ketidakpastian politik. Yang pasti, komunitas Muslim melihat Putin adalah sosok yang haus kekuasaan.
Sepanjang sejarah, wilayah Krimea selalu menjadi rebutan. Semasa Kekaisaran Rusia, wilayah ini menjadi bulan-bulanan serangan Tsarina Yekaterina II. Memasuki masa republik, Josef Stalin memasuki Krimea ke wilayah Soviet. Bubarnya Uni Soviet, wilayah Krimea diserahkan kepada Ukraina.
Secara karakteristik, warga Krimea lebih fasih berbahasa Tatar dan Kiev. Kini, mereka wajib mengusasi bahasa Rusia. Moskow tentu akan memaksakan khendaknya.