Jumat 02 May 2014 13:20 WIB

Campur Tangan Pemerintah Dalam Upah Buruh, Bolehkah?

Aksi buruh.
Foto: ROL/Kingkin JIwanggo
Aksi buruh.

REPUBLIKA.CO.ID,Setiap tanggal 1 Mei kini ditetapkan sebagai hari libur nasional. Penanda hari buruh sedunia itu sering diwarnai dengan penyampaian aspirasi pekerja dalam memperjuangkan kesejahteraan. Salah satunya adalah penetapan upah minimum untuk pekerja. 

Penetapan upah pekerja di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah lewat kepala daerah. Bekerja sebagai bagian muamalah dipandang sebagai hubungan antara dua pihak saja, pekerja dan perusahaan. Akad dan ketentuan yang berlaku dalam muamalah juga diatur antara keduanya. Termasuk di dalamnya gaji.Lalu bagaimana jika pemerintah campur tangan menentukan besaran upah pekerja? 

Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi membolehkan campur tangan pemerintah tersebut. Menurutnya tanggung jawab pemerintah sebagai ulil amri tidak sebatas menjaga keamanan negara saja.

Menyitir sebuah hadis dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda "Masing-masing kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya tentang kepemimpinannya." (HR Bukhari dan Muslim).

Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA pernah berujar, "Jika ada seekor anak kambing binasa di tepi sungai Furat, saya akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hadapan Allah." Rasa tanggung jawab menyeluruh yang dipikul pemimpin juga dimaksudkan dalam mengatur urusan upah rakyatnya.

Selain itu Syekh Yusuf Qaradhawi beralasan campur tangan pemerintah dalam hal ini untuk memastikan keadilan. Terwujudnya keadilan antara pemerintah dan rakyat, pengusaha dan pekerja  adalah dengan memastikan salah satu diantaranya tidak berbuat curang kepada yang lain. Pengaturan ini juga termasuk kewajiban dari seorang pemimpin. 

Allah SWT berfirman, " Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya. Dan menyuruh kamu apabila menegakkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil." (QS an-Nisa [4] :58).

Selain itu maksud diperbolehkannya campur tangan penguasa dalam penetapan upah pekerja adalah untuk mencegah kemudaratan. Dharar atau bahaya sendiri diklasifikasikan menjadi beberapa kaidah ilmu fikih. Diantaranya dharar harus dihilangkan. Dharar tidak boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan dharar yang lain. 

Artinya, semua undang-undang dan peraturan pemerintah yang bermaksud untuk mencegah dharar diperbolehkan. Pengaturan upah dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antar kelompok masyarakat karena terjadi kesenjangan dan ketidakadilan.

Selain itu hak-hak khusus pekerja telah dikemukakan dengan gamblang dalam beberapa hadis. Rasulullah SAW bersabda, "Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya." (HR Ibnu Majah). 

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan tujuan campur tangan pemerintah dalam menentukan hukum untuk mencegah terjadinya penganiayaan satu golongan terhadap golongan yang lain. Pemerintah, ujar Ibnu Taimiyah, pemerintah dapat memaksa dengan menetapkan imbalan yang layak sehingga mereka tidak menuntut imbalan yang lebih tinggi dari standar yang diberikan. 

Para fuqaha menjelaskan standar besarnya upah seorang pekerja. Upah yang layak adalah upah yang seimbang dengan jenis pekerjaannya dengan memperhatikan situasi dan kondisi. Selain itu juga tidak merugikan pekerja dan memberatkan pengusaha. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement