Jumat 02 May 2014 15:00 WIB

Asal Mula Tasbih

Rep: Hannan Putra/ Red: Hafidz Muftisany
ilustrasi
Foto: AP/Francisco Seco
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu media yang dipergunakan untuk berzikir adalah tasbih. Benda ini sudah dikenal secara luas, bahkan pada masa sebelum Islam. Di Timur Tengah, tasbih disebut dengan nama subhah. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama jibmala.

Asal muasal benda ini masih simpang siur. Tidak ada sumber resmi yang menerangkan asal muasal tasbih. Ada literatur umat Budha menggunakan media semacam tasbih dengan hitungan sebanyak 180 butir. 

Syekh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam Da’iratul-Ma’arif Al-Islamiyyah 11/233-234 dan Al-Mausu’at Al-‘Arabiyyah Al-Muyassarah 1/958 menyebut alat serupa tasbih juga digunakan dalam agama Katolik. Bedanya, tasbih kaum Katolik hanya terdiri dari 50 biji.

Tasbih itu relatif kecil, dan dibagi oleh empat biji pemisah dengan biji tasbih besar. Sedangkan mata tasbih ditandai dengan tanda salib. 

Sementara dalam tradisi Islam, tasbih digunakan untuk berzikir, terutama ketika selepas shalat. Jadi, tasbih dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing berjumlah 33 biji tasbih. Hal ini sesuai dengan tuntunan zikir selepas shalat, yakni 33 kali kalimat subhanallah, 33 kali alhamdulillah, dan 33 kali Allahu akbar.

Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penggunaan tasbih. Ada ulama yang memperbolehkan tasbih untuk berzikir namun ada juga yang menolaknya. Bagi ulama yang menolak, tasbih bukan tradisi yang berasal dari Islam.

Seorang Muslim hendaknya mencukupkan diri menghitung bilangan zikir dengan tangan sesuai hadis dari Umar bin Khattab RA.  “Rasulullah SAW menghitung zikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasai dan al-Hakim).

Menggunakan tasbih sebagai alat menghitung zikir juga disebut kelompok yang menolak sebagai perbuatan bid'ah.

Sementara kalangan yang membolehkan berpendapat anjuran untuk menghitung zikir dengan jari seperti dalam hadis tersebut bukan berarti mengharamkan cara lain. Dalam sejumlah hadis lain didapati, para shahabiyah juga mempergunakan media seperti batu dan biji kurma untuk menghitung zikir. Tapi hal ini tidak mendapatkan penolakan dari Rasulullah SAW.

Seperti sebuah hadis dari istri Rasulullah SAW, Shofiyah yang mengisahkan ketika suatu kali suaminya SAW datang kerumahnya. Rasulullah SAW melihat ada 4 ribu biji kurma dan menanyakannya."Hai Binti Huyay, apakah itu?" Shofiyyah pun menjawab, "Itulah yang kupergunakan untuk menghitung zikir". 

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya engkau dapat berzikir lebih banyak dari itu". Shofiyyah menyahut, "Ya Rasulallah, ajarilah aku". Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya”. (HR Tirmizi, Hakim, dan Thabrani).

Dari hadis ini beberapa ulama berpendapat Rasulallah SAW tidak melarang istrinya Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung zikirnya. Malah Beliau SAW memesankan bahwa Shofiyah bisa berdzikir lebih banyak dari itu.

Sahabat lain seperti Abu Hurairah RA juga mempergunakan media lain untuk berzikir. Seperti diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah sebuah kantong berisi batu kerikil yang ia gunakan untuk berzikir. Abu Syaibah yang mengutip hadis Ikrimah juga mengatakan, bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali. 

Sejumlah pakar sejarah Islam juga menolak bahwa tasbih merupakan warisan budaya Budha atau Hindu. Alasannya, tidak ada sumber valid yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement