Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Praktik filantropi ini terus berlanjut dan berkembang pada masa sesudahnya.
Pemahaman akan pentingnya melakukan solidaritas sosial ini begitu ditanamkan hingga mengakar dalam ajaran Islam. Bentuk filantropi ini kemudian ditata menjadi lebih rapi dalam sebuah lembaga khusus.
Pada masa Dinasti Umayyah, seorang hakim pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, yaitu yang bernama Taubah bin Ghar al-Hadrami, menaruh perhatian besar pada masalah pengelolaan wakaf ini. Ia kemudian merintis dibentuknya sebuah lembaga wakaf yang berada di bawah pengawasan hakim.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, berdirilah lembaga wakaf yang dikenal dengan Shadr al-Waqf. Lembaga ini mengurusi masalah administrasi dan memilih staf yang dipercaya sebagai pengelola lembaga wakaf.
Di Mesir, dalam masa pemerintahan Shalahudin al-Ayubi, pengelolaan wakaf semakin maju lagi. Ia mengeluarkan berbagai kebijakan yang sangat berhubungan dengan sikap filantropi ini.
Salah satunya adalah ditetapkannya pungutan bea dan cukai bagi pedagang yang singgah dan kemudian hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada kaum dhuafa.
Pada masa Turki Usmani, pengelolaan wakaf dibuat lebih lengkap lagi. Peraturan untuk membukukan pelaksanaan wakaf, tata cara pengelolaan, sertifikat, mencapai tujuan wakaf, dan melembagakan wakaf pun dikeluarkan.
Pada masa peradaban modern, pelaksanaan filantropi ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terjadi di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti di Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah, dan Irak.
Pemerintah memberikan perhatian yang lebih dan mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang tata cara administrasi dan pengelolaan harta wakaf.