REPUBLIKA.CO.ID, Para relawan tak jarang mesti siap menghadapi berbagai kondisi, bukan hanya bencana, melainkan juga membantu korban di daerah perang atau konflik.
Ketika konflik SARA meletus di Ambon, para relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) terjun untuk mengobati korban tanpa melihat latar belakang. Bahkan hingga ke luar negeri, seperti misi ke Gaza, Palestina, Myanmar, dan lainnya.
Ketua Presidium MER-C Dr Henry Hidayatullah menyatakan seperti itulah program yang dimilikinya. Hampir semuanya adalah program sosial yang melibatkan tenaga relawan medis. Ada dokter dan juga perawat.
Lainnya merupakan tenaga yang ahli dalam infrastruktur. Konsep dasarnya adalah relawan sebab MER-C dibentuk atas dasar relawan. Jadi, semua program melibatkan relawan. “Kecuali, yang harus stand by rutin harian. Itu karyawan,” ujarnya kepada Republika, Rabu (15/1).
Ia menegaskan, relawan MER-C tidak mendapat honor. Semua bekerja dengan sukarela untuk kemanusiaan. Henry menekankan, untuk program sosial yang melibatkan relawan, MER-C tidak memberikan honor.
Namun, pada program lainnya yang bersifat nonsosial, MER-C bisa saja memberikan honor. Ia mencontohkan program yang melibatkan lembaga tertentu. MER-C dan lembaga tersebut kemudian bekerja sama dalam sosialisasi, misalkan. “Ini sangat mungkin.”
Relawan MER-C mendapatkan honor dari lembaga masing-masing tempat mereka bekerja. Ada yang menjadi dokter di rumah sakit tertentu. Ada juga yang membuka praktik sendiri. Panggilan hati menyatukan para relawan untuk mengabdi melalui MER-C.
Henry menyatakan sistem relawan seperti itu menjadi problem tersendiri. Ada proses yang harus dilalui MER-C. Proses ini cukup lama.
Dari awal pendirian MER-C pada 1999, saat konflik horizontal di Ambon mencuat, ada delapan dokter bersepakat mendirikan MER-C. Mereka kemudian merekrut relawan dari mahasiswa-mahasiswa fakultas kedokteran.