Senin 07 Apr 2014 12:05 WIB

Muhammadiyah Bantu Siswi Berjilbab Bisa Masuk Sekolah Negeri

Rep: fuji pratiwi/ Red: Muhammad Hafil
Yunahar Ilyas
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Yunahar Ilyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muhammadiyah melalui pengurus wilayah Bali akan membantu siswi berjilbab lulusan sekolah Muhammadiyah agar bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri tanpa khawatir dilarang berjilbab. Sebab Muhammadiyah memandang hak kebebasan berjilbab tak hanya untuk siswi tertentu, tapi bagi semua siswi Muslim.

Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas, Senin (7/4), mengatakan PP Muhammadiyah tentu akan bekoordinasi dengan pimpinan wilayah Muhammadiyah di Bali untuk membantu. Walau setelah tamat dari Muhammadiyah siswa bebas melanjutkan sekolah di manapun.

Jika memilih di melanjutkan lagi di Muhammadiyah, penggunaan jilbab tidak masalah. Tapi jika pilihannya adalah SMP negeri, mereka memang harus dibantu.

Meski sudah ada pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang membolehkan penggunaan jilbab di sekolah negeri, Muhammadiyah melalui pimpinan wilayahnya akan membantu advokasi para siswa. Sebab, keluluasaan penggunaan jilban di sekolah tidak hanya untuk siswi sekolah Muhammadiyah tapi untuk semua.

''Jangan sampai ada lagi yang seperti ini. Ketinggalan zaman sekolah yang melarang penggunaan jilbab,'' kata Yunahar.

Masih ada larangan semacam itu di negara Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa, lanjut Yunahar, harusnya membuat bangsa ini malu. Pemerintah daerah dan tokoh masyarakat juga harus membantu menyelesaikan masalah ini.

Pembicaraan toleransi beragama sudah pernah dibicarakan di antara para tokoh agama. Tapi praktiknya tidak semulus yang diwacanakan.

Muhammadiyah setuju jika PII mengajukan gugatan hukum dan bukti-bukti atas kasus ini agar jelas siapa yang berbohong. Sebab, pendidikan dan kebebasan agama harus diberikan. Jika tidak dilaksanakan, maka harus ada sanksi.

Jika kepala dinas yang melakukan pelanggaran, maka menteri yang harus menjatuhkan sanksi. ''Kalau tidak ada sanksi, hanya basa basi namanya. Ditemui langsung, sekolah tidak akan mengaku melarang jilbab. Tapi praktiknya berbeda,'' kata dia.

Yunahar mengatakan pendekatan persuasif bisa dilakukan, tapi harus ada batas waktu. Sebab, jangan sampai terlambat mengambil tindakan karena terus mengandalkan langkah persuasif apalagi ini urusan agama.

''Bali toleran dengan turis tanpa pakaian, tapi melarang jilbab. Apa itu sesuai Pancasila? Padahal yang mau menutup aurat itu anak-anak usia sekolah yang sudah punya kesadaran agama,'' kata Yunahar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement