Rabu 02 Apr 2014 23:56 WIB

Raja Kontroversial Dinasti Mughal (3-habis)

Aurangzeb Alamgir (ilustrasi).
Foto: Kubavats.com
Aurangzeb Alamgir (ilustrasi).

Oleh: Fuji Pratiwi

Aurangzeb tetap menghormati penganut Hindu dan Sikh dan memperlakukan mereka tanpa diskriminasi.

Puluhan penganut Hindu bekerja di pengadilan kerajaan sebagai pegawai dan penasihat. Bahkan, jumlah pekerja non-Muslim di sana lebih banyak dari zaman Raja Akbar yang dielu-elukan sebagai raja paling toleran dan religius di Dinasti Mughal.

Bekerjanya penganut Hindu dan Sikh dalam pemerintahan dan militer menunjukkan Aurangzeb bukanlah seorang religius buta yang mengesampingkan peran non-Muslim.

Tudingan lainnya atas Aurangzeb adalah tindakannya menghancurkan sejumlah kuil Hindu dan Sikh dan melarang pembangunannya kembali. Fakta ini memang tak bisa dihapus dari sejarah.

Menjaga kuil merupakan tradisi yang telah berjalan panjang bagi Umat Islam di India. Tentara Muslim pertama yang datang ke India pada 711 M di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim menjamin kebebasan dan keamanan kuil bagi para penganut Hindu dan Buddha.

Kebijakan serupa juga diikuti ratusan raja sebelum Dinasti Mughal. Aurangzeb sendiri tetap memegang itu selama masa kepemimpinannya. Pada 1659 M, Aurangzeb pernah menulis, ''Syariat Islam melarang kuil dihancurkan.''

Namun, mengapa Aurangzeb tetap menghancurkan kuil? Jawabannya tak bisa dilepaskan dari kondisi politik sekitar 1600-an. Kuil Hindu dan Sikh tidak hanya digunakan berfungsi tempat ibadah, tapi juga peran politik yang signifikan. Kuil menjadi pusat politik dan harta negara.

Pendeta di kuil pun merupakan pegawai negara. Melalui para pendetalah Dinasti Mughal dan dinasti lain termasuk dinasti non-Muslim, mencari dukungan warga Hindu. Dia melihat adanya potensi makar dari kuil bagi raja. Aurangzeb lantas menghancurkan kuil yang memiliki obsesi politik, bukan untuk ibadah. Itu pun, ia pilih dengan sangat hati-hati.

Aurangzeb memang mewariskan kondisi finansial negara yang berantakan. Semasa kepemimpinan ayahnya, uang negara dihambur-hamburkan. Banyak gubernur dan pendeta yang melakukan upaya makar di masa setelahnya, masa Aurangzeb.

Saat pemberontakan pecah, kuil lokal selalu menjadi basis entitas. Selama kuil berfungsi seperti ini, maka pemberontakan atas Dinasti Mughal akan tetap terjadi. Maka, Aurangzeb mengeluarkan titah melawan pemberontak dan menghancurkan kuil yang dijadikan basis perlawanan.

Contohnya kuil di Baranas pimpinan Shivaji yang pada 1669 dihancurkan setelah Aurangzeb menangkap Shivaji di kuil tersebut. Setelah itu, Aurangzeb malah menjadikan kuil tersebut sebagai basis dukungan baginya.

Hal serupa juga terjadi pada 1670 M di Mathura saat para pemberontak Jat membunuh pemimpin Muslim di sana. Selain ditahan, kuil basis mereka pun dihancurkan. Aturan penghancuran kuil digunakan sebagai hukuman bagi pegawai negara penganut Hindu yang tidak setia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement