Selasa 01 Apr 2014 05:55 WIB

Tenggat Permen Jilbab 8 April

Pelajar berjilbab, ilustrasi
Pelajar berjilbab, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Dinas Pendidikan Provinsi Bali hendaknya mencegah diskriminasi pengalaman agama di sekolah.

JAKARTA – Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan  mengenai seragam sekolah diharapkan dapat disahkan sebelum pemilu legislatif 9 April mendatang. Permen ini akan mengganti SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 100 tahun 1991.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana mengesahkannya April ini. Permen menegaskan kembali siswi Muslimah boleh mengenakan jilbab di sekolah. Jadi, tak ada alasan  bagi 40 sekolah negeri di Bali atau sekolah negeri di provinsi lainnya melarang jilbab.

Wakil Sekjen Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Ketua Tim Advokasi Jilbab Bali Helmy al-Djufry mengatakan jika sebelum pemilu legislatif Permen itu belum keluar, maka akan ada langkah yang ditempuh PII.

‘’Kami akan melayangkan petisi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud),’’ kata Helmy, Senin (31/3). Kalau petisi tak memperoleh tanggapan maka PII berencana melakukan gugatan terhadap Menteri Pendidikan.

Gugatan juga ditujukan kepada Gubernur Bali dan Kadisdik Provinsi Bali. Kini, PII menunggu apa yang akan terjadi hingga 8 April 2014.

Helmy mengatakan, landasan hukum yang digunakan PB PII untuk mengugugat tiga pihak itu adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 dalam Bab IV, Bagian Keempat,  Pasal 10.

Pasal itu menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-Undang yang sama, Pasal 11 ayat 1 menegaskan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

''Mendikbud, Gubernur Bali dan Kadisdik Propinsi Bali kami anggap melanggar UU Sisdiknas karena tidak menjalankan amanah UU diatas. Sehingga merugikan para siswi dengan tindakan diskriminatif dalam pendidikan,'' tutur Helmy.

Ia berharap, Mendikbud tetap mengerahkan segala daya menyelesaikan permasalahan mendasar ini di Bali. Sebab, jika PII mengambil langkah hukum, ini menandakan kemunduran pendidikan di Bali khususnya dan Indonesia secara keseluruhan.

Prinsipnya, pelarangan jilbab di 40 sekolah di Bali menghalangi pemenuhan hak siswa menjalakan agamanya. Di sisi lain, kata Helmy, PII juga akan melihat kemajuan penanganan kasus ini oleh pemerintah Komnas HAM, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Susanto mengatakan KPAI terus mengawal penyelesaian kasus pelarangan jilbab di Bali. ‘’Kami telah meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelesaikan kasus ini dan mencegah kasus serupa,’’ ungkapnya.

Selain itu, KPAI mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Bali mencegah diskriminasi pengamalan agama bagi semua siswa. Termasuk siswa minoritas yang beragama Islam. Komisi ini berpandangan, tak boleh ada satu pun anak Indonesia yang mengalami diskriminasi.

Terutama dalam menjalankan ajaran agamanya, termasuk mengenakan jilbab. Apalagi pelarangan itu terjadi di sekolah negeri. Susanto menyatakan, sekolah merupakan wadah untuk menerapkan nilai-nilai yang di dalamnya ada nilai keagamaan.

Susanto mengungkapkan, hingga saat ini KPAI belum memperoleh respons resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Bali. Ia menambahkan, sebenarnya, Dinas Pendidikan Provinsi Bali tak bisa menyerahkan kebijakan soal jilbab ini kepada masing-maing sekolah.

Sebab, dinas di tingkat provinsi wajib mengendalikan proses pendidikan di wilayah yang menjadi kewenangannya. ‘’Mereka tak bisa lepas tangan kalau terjadi praktik diskriminasi di sekolah,’’ kata Susanto. Mereka harus turun tangan menyelesaikannya.’’

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement