Selasa 25 Mar 2014 14:58 WIB

Rebana, Kesenian Islam yang Mulai Sirna (2)

Alat musik rebana.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Alat musik rebana.

Oleh: Hannan Putra

Seperti diterangkan Imam at-Thabari, gendang atau rebana mempunyai arti penting dalam membangkitkan semangat jihad umat Islam. Tentunya, motivasi seorang Muslim untuk terjun ke medan perperangan hanya mengharap ridha dan surga dari Allah.

Tapi tak bisa dimungkiri, gendang dan rebana dianggap mampu menciptakan suasana hati yang kondusif bagi para mujahidin hingga membuatnya bersemangat melawan musuh.

Dari situlah, Imam at-Thabari mendefinisikan rebana dan gendang menjadi dua jenis. “Pada dasarnya, gendang itu terbagi menjadi dua jenis; Pertama, sebagai thobl al-harbi (gendang untuk peperangan).

Tak ada keraguan bahwa gendang seperti ini tidak ada dosa ketika kita mainkan atau dipukul, karena sangat bermanfaat untuk memberikan semangat kepada para tentara yang akan berperang. Disamping itu juga sangat bermanfaat untuk membuat takut para musuh ketika dimainkan.

 

Kedua, thoblu lahwin (Gendang untuk hiburan). Seperti halnya rebana yang sering digunakan dalam pesta pernikahan. Hukumnya juga boleh. “Tetapi syaratnya, dalam lantunan lagunya harus menggunakan kata-kata yang baik dan terhindar dari rafatsa (kata-kata keji).” terang at-Thabari dalam Al-Ahkam Alquran li Ibnu Araby.

Ketika genderang perang sudah ditabuh, semangat kaum Muslimin pun membara dan bersemangat mengadang musuh. Gendang perang selalu dibawa dalam kancah perperangan. Bahkan, irama gendang tersebut juga menjadi kode tersendiri bagi para prajurit dalam membentuk formasi dan strategi perang.

Gendang seakan menjadi aba-aba bagi prajurit untuk bertarung melawan musuh. Demikian juga halnya dengan hiburan. Dalam masa awal-awal Islam dengan keterbatasan alat musik, gendang memegang posisi penting dalam dunia hiburan ketika itu.

Rasulullah SAW sendiri mengisyaratkan agar memukul duf (sejenis rebana) untuk merayakan hari-hari berbahagia. Seperti halnya pesta pernikahan, hari raya, dan hari dimana tentara Islam pulang membawa kemenangan dari kancah peperangan.

“Batas antara halal dan haram (pernikahan dan perzinahan) adalah duf (rebana) dan suara (nyanyian) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, dan lainnya dari Muhammad bin Hathib). Hadis ini dishahihkan al-Hakim dan disetujui adz Dzahabi. Sementara Syekh al Albani menghasan-kan.

Demikian pentingnya memainkan alat musik sejenis rebana ini dalam pesta pernikahan, sehingga Rasulullah menjadikannya tolok ukur untuk menghalalkan yang haram. Sepasang laki-laki dan perempuan menjadi halal dalam ikatan pernikahan dengan ditandainya bunyi-bunyian sejenis rebana. Tentulah posisi hiburan sejenis duf ini memegang peran penting dalam sebuah pernikahan.

Seperti hadis yang diriwayatkan dari Amr bin Yahya al-Marzini dari kakeknya Abu Hasan, "Rasulullah SAW tidak menyukai pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sampai ditabuhnya duf (rebana) dan dinyanyikan." (HR Ahmad, dishahihkan juga oleh Syekh Abu Ishaq al Huwaini).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement