Sabtu 22 Mar 2014 17:18 WIB

Tahafut Al-Falasifah, Kontroversi Ranah Filsafat (4-habis)

Sampul depan Kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali.
Foto: Wikipedia.org
Sampul depan Kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali.

Oleh: Ani Nursalikah

Setelah kematian Al-Juwaini, al-Ghazali pergi ke kamp (al-Mu’askar) milik Nizam al- Mulk yang mendirikan sekolah Nizhamiyah.

Kamp ini terkenal sebagai tempat pertemuan bagi para sarjana yang berdebat mengenai ilmu Islam. Ia pun kuliah di sana antara 1091-1095.

Selama periode ini, al-Ghazali belajar filsafat sendiri dan menulis Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) dan muncul seolah-olah ia adalah sa lah satu dari mereka. Diikuti kemudian dengan karyanya Tahafut Al-Fa lasifah. Hampir semua cendikiawan cenderung menggeneralisasi dan mengatakan bahwa al-Gha zali memberikan pencerahan filsafat dalam buku ini.

Akhir karier al-Ghazali di Nizhamiyah, Baghdad, tak terduga. Keadaan ini kemudian dikenal sebagai “Krisis Spiritual” al-Ghazali. Setelah membahas metodologi para teolog Muslim (al-Mutakallimun), para filsuf, dan esoterics (al-Batiniyyah), ia memilih jalan sufi sebagai cara memperoleh pengetahuan pasti.

Meskipun metode ini memiliki prasyarat, kata Ghazali, kita harus meninggalkan semua hal yang bersifat duniawi. Kesehatan al-Ghazali memburuk dan dokter menyerah karena mereka menyadari sumber masalahnya bukan fisik.

Al-Ghazali kemudian membagikan kekayaannya dan pergi dari Baghdad untuk memulai perjalanan rohani yang berlangsung selama sekitar 11 tahun. Ia pergi ke Damaskus, Yerusalem, Hebron, Madinah, Makkah, dan kembali ke Baghdad, tempat ia berhenti sebentar.

Perjalanannya berlangsung sampai Jumadil Akhir 490 H atau 1097 M. Ia kembali ke Tus dan menghabiskan sembilan tahun dalam pengasingan hingga kematiannya pada Desember 1111 M. Karya-karya awal al-Ghazali berada di wilayah yurisprudensi. Dalam Al-Mankhul fi’ Ilm al-Ushul, ia mengabdikan bab untuk diskusi tentang sifat ilmu kalam.

Perlu dicatat, penggunaan Ghazali terhadap ilmu bersifat umum dan terbatas pada ilmu-ilmu alam atau fisik, mencakup semua subjek pengetahuan, termasuk syariah. “Ilmu pengetahuan tidak dapat didefinisikan. Ketidakmampuan kita untuk mendefinisikan (ilmu) tidak menunjukkan ketidaktahuan kita tentang ilmu yang sama,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement