REPUBLIKA.CO.ID, Terkadang, langkah orang-orang berotak cerdas terhenti. Mereka memiliki cita-cita tinggi, tapi tak punya cukup dana. Hingga, akhirnya mereka tak bisa mengeyam pendidikan lebih tinggi. Beruntung, lembaga filantropi Islam tergugah membantu.
Mereka mendayagunakan dana zakat dan infak dari orang berpunya mengubahnya menjadi beastudi. Selanjutnya, mengalirlah kisah-kisah suka cita.
Dewi Sartika (26), terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai sopir angkutan kota (angkot) dan ibunya penjual gorengan. Keadaan ini membuatnya punya mimpi untuk bersekolah setinggi-tingginya. Ia bercita-cita menjadi seorang dokter.
“Alhamdulillah, nilai saya selalu bagus hingga para guru pun mencarikan beasiswa bagi saya,” ujar Dewi. Dari mulut gurunya, ia memperoleh informasi mengenai beastudi etos Dompet Dhuafa. Ia ikut seleksi dan lulus. Ia menerima beastudi pada 2004.
Sejak SMP, ujar Dewi, ia bisa berseolah karena beasiswa. Ia bersyukur beastudi membantunya mengantarkan ke perguruan tinggi. Ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah.
Saat itu, orang tuanya masih waswas. Sebab, biasanya pihak pemberi hanya menyediakan biaya pendidikan. Padahal, Dewi harus merantau dan menjadi anak kos di Semarang. “Untung saja beastudi yang diberikan ini berikut biaya hidup,” ungkapnya.
Pada 2010, ia lulus menjadi dokter. Kini, ia mengabdikan diri pada bangsanya sebagai dokter yang bertugas di daerah pelosok, di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia menyatakan, pendidikan sangat penting bagi kalangan dhuafa.
“Dengan pendidikan, mereka bisa mengubah cara berpikir, status sosial, dan meningkatkan ekonomi di sekitarnya,” kata Dewi. Kini, orang tua hidup lebih layak. Ibunya tak perlu lagi bersusah payah menjajakan gorengan. Bahkan, ayahnya saat ini punya satu unit taksi.
Ini membuat sang ayah memperoleh penghasilan lebih baik sebelum putrinya, Dewi menjadi dokter. Pengalaman manis lainnya dialami Hanta Yuda yang kini menjadi pengamat politik. Ia memperoleh beastudi yang sama.
Beastudi ia dapatkan saat menimba ilmu di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 2001. Ia menuturkan, banyak anak Indonesia kurang mampu namun mempunyai potensi besar.
“Potensi ini perlu dikembangkan dengan pendidikan yang memadai,” jelas Hanta. Memang, akses pendidikan tak bisa diraih dengan mudah oleh mereka. Besarnya biaya studi menjadi momok menakutkan bagi mereka.
Karena, selain biaya sekolah, biaya lain, seperti buku, perlengkapan pendukung, biaya penelitian, dan lainnya juga besar. Ia memberikan acungan jempol bagi lembaga yang memberikan bantuan pendidikan secara penuh.
Bantuan dana pendidikan, ujar dia, merupakan sarana memperbaiki sumber daya bangsa. Ini membantu pula Indonesia meraih mimpinya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.